Wednesday, May 8, 2013

Misteri Kota Tua.. Part 6


"Apa? Kau berbicara dengan kematian?" Felix tampak kaget. Wajahnya menjadi pucat. "Apakah dia memberimu tantangan?" lanjut Felix. "Ya, dia memberiku tantangan. Aku harus menemukan apa yg terjadi dengan desa ini. Mengapa desa ini terkutuk." jawabku. "Baiklah, itu pertanda buruk. Waspadalah, dia tidak akan membiarkanmu menang. Percaya atau tidak, ruangan itu dikendalikan oleh kematian" Felix memperingatiku. Aku sedikit takut mendengarnya. Tapi keputusan sudah dibuat dan aku harus menyelesaikan ini walaupun aku harus mati.

Aku menuruni tangga yg berhubungan dengan ruangan bawah tanah tempat harta tersebut berada. Teman-teman dan keluargaku sudah menunggu di dalam. Saat aku sudah berkumpul dengan mereka, cahaya obor tiba-tiba menyala dan menerangi perjalanan kami. "Selamat datang di rumahku yg sederhana ini. Kuharap kalian menikmati petualangan ini" suara Kematian bergema di seisi ruangan. Suaranya yg khas dan menyeramkan seakan menghantuiku. Jantungku berdegup kencang, tapi aku berusaha untuk tetap tenang.

Ruangan ini lebih terlihat seperti lorong. Lorong yg luas dan mengerikan. Sementara ruangan yg kami pijak saat ini lebih terlihat seperti lobby. Dinding-dinding lobby ini seakan terbuat dari mayat-mayat. Banyak tengkorak ataupun mayat yg masih segar menempel di dinding. Udaranya panas dan berbau apek. Kami semua terlihat ketakutan. Florence menggenggam erat tanganku dan Lotus memeluk kakiku. "Oke, aku tahu kita semua ketakutan. Tapi aku yakin kita bisa menyelesaikan ini." kataku memberikan semangat. Tidak ada tanggapan dari kata-kataku tadi. Sudah jelas semuanya ketakutan dan suasana di sini sangat menegangkan.

Diterangi cahaya obor yg menggantung di dinding, aku mulai berjalan dan menelusuri lorong demi lorong. Ketika aku berpikir bahwa tidak ada apa-apa di sini, tiba-tiba saja dinding bergetar hebat. Terdengar suara tawa yg memilukan dari kejauhan. Tuan penderghast mundur beberapa langkah sehingga dia semakin dekat dengan dinding. Tiba-tiba salah satu mayat yg menempel berkata, "Toloong. Tolooong akuu" lalu dia berusaha untuk melepaskan kedua tangannya yg menempel di dinding dan memeluk tuan Penderghast. "Toloong akuu.. Lepaskan akuu" suara itu sangat memilukan, menakutkan dan membuatku merinding. Tuan Penderghast berusaha keras melepaskan pelukan mayat tersebut. "AAAAAAAH!!!" tiba-tiba terdengar suara jeritan. Lotus, itu jeritan Lotus!! "Lepaskan tanganku!" kata Lotus memukul tangan mayat yg mencengkram erat tangannya. Disaat seperti ini, aku herus berpikir cepat. "Thomas, bantu tuan Penderghast dan aku akan membantu Lotus" perintahku. Aku mengambil golok yg aku bawa untuk berjaga-jaga dan memotong tangan mayat tersebut. Lotus terjatuh ketika tangan tersebut terpotong. Mayat itu lalu menatapku tajam lalu berteriak. Teriakan itu sangat keras. "Florence, bawa Lotus jauh dari sini, aku harus membantu tuan Penderghast!". Florence memegang tangan Lotus dan berlari sekencang yg mereka bisa. Sedangkan aku memasang sumbat telinga dan berusaha melepaskan pelukan mayat dari tuan Penderghast. Tak kusangka, pelukan itu sangat kuat. "Toolong akuuu!" suara minta tolong itu terdengar semakin keras. Tanpa pikir panjang, aku mengambil golokku dan menusukkannya tepat di kepalanya. Mayat itu mendongak ke atas, merintih kesakitan lalu terjatuh. Dia tidak jatuh ke tanah, tetap tergantung di dinding, hanya sebagian badannya saja yg lepas dari dinding, selebihnya masih menempel.

Setelah tuan Penderghast terlepas dari pelukan mayat, kami berlari menyusul Florence dan Lotus. Beruntung, mereka mendengar teriakan kami. Kami bertemu di ruangan lain yg berbentuk seperti lobby. Di depan kami, tampak sebuah sungai yg memisahkan antara ruang satu, dengan ruang lainnya. Kami harus mencari cara untuk bisa sampai di ruangan seberang. Kami berpencar mencari apapun untuk di pakai menyebrang. "Hey, disini!" Florence berteriak. "Di sini ada semacam tuas" Florence menunjukkan tuas tersebut. Aku memperhatikan tuas tersebut. Tuas itu terbuat dari lengan manusia lengkap dengan tangannya. Ada tulisan di bagian bawahnya.
Hanya dapat ditarik oleh orang terpilih
Lotus membacanya dengan keras. Jujur saja, itu mengagetkanku. Karena hanya aku yg tadi berbicara dengan kematian, aku merasa seperti orang yg terpilih. Dengan perasaan cemas dan takut, aku memegang tuas tersebut dan menariknya. Aneh, tidak tuas tersebut tidak juga turun. "Biar aku yg menariknya" Thomas mengajukan diri. Dia genggam tuas itu, lalu tiba-tiba tuas tersebut mencengkram tangan Thomas. Keringat dingin tampak membasahi kening Thomas. Aku ingin menolongnya, tapi Thomas melarangku. "Tidak, aku tidak ingin kau terluka. Kau adalah kunci dari permainan kematian" Thomas membentakku. Dia menarik tuas tersebut dan akhirnya tuas tersebut turun. Air sungai di bawah kami beriak. Ruangan tempat kami berada bergetar dan dari bawah jembatan mulai terangkat. Jembatan yg lantainya terbuat dari beberapa tulang dan otot-otot manusia sebagai pengerat jembatan tersebut. Aku menyuruh tuan Penderghast, Florence dan Lotus untuk menyebrangi jembatan tersebut. Aku melihat Thomas dan kaget. Kaget karena tangan yg mencengkram Thomas belum juga lepas. Aku berlari mendekatinya dan membantunya dengan cara menarik Thomas. Tapi cengkraman tersebut terlalu kuat. Aku berusaha memotong tulang tersebut, tapi tulang itu terlalu kuat. "Kevin, pergi saja sekarang. Aku hanya memperlambat perjalanan kalian. Aku akan menyusul, aku janji" Thomas lalu memaksaku untuk pergi. Dengan berat hati aku meninggalkannya.

Aku menyebrangi jembatan yg naik ke permukaan dengan pengorbanan Thomas. Jembatan tersebut licin dan sedikit amis. "Kevin, mana Thomas?" tanya tuan Penderghast. Aku hanya menggeleng lemah. Tuan Penderghast tampak pucat dan berlari ingin kembali menyelamatkan Thomas. Ya, Thomas dan tuan Penderghast adalah sahabat baik. Tapi sayang, jembatan itu kembali turun ke bawah sungai sehingga tuan Penderghast tidak bisa menyebrang. Tuan Penderghast berteriak memanggil Thomas. Tetapi tidak ada tanggapan. "Hahahahah! Aku membutuhkan pelayan yg setia seperti dia" suara kematian kembail menggema ruangan. Tuan Penderghast terlihat panik. Dia berbalik lalu mengarahkan telunjuknya padaku, "INI SEMUA SALAHMU! Kalau kau tidak meninggalkannya, dia tidak akan berakhir seperti ini!" tuan Penderghast marah padaku. Aku tidak berani menjawab, bagaimanapun juga ini salahku. Dia benar, aku tidak seharusnya meninggalkan Thomas. Tuan Penderghast mendekat dan hendak menamparku. Tetapi tangannya ditahan oleh Florence. "DIAM! Kau hanya panik! Thomas adalah orang yg cerdas, dia pasti punya rencana. Sekarang bisakan kau diam dan melanjutkan perjalanan?!" Kata Florence kesal. Tak pernah kulihat dia seperti ini. Tuan Penderghast mundur beberapa langkah, lalu berjalan cepat menuju lorong selanjutnya. Tetapi tuan Penderghast tiba-tiba terpeleset dan menabrak tembok. Sentak para mayat yg menempel menjadi kaget lalu mencengkram tuan Penderghast. "Tooolooong akuu.." , "LAPAAAR!! Aku lapaaar!" para mayat merintih kesakitan dan kelaparan. Aku, Florence dan Lotus hanya diam mematung. Melihat tuan Penderghast perlahan hilang. Dia hilang seakan dimakan oleh dinding-dinding. Bukan mayat, tapi dinding. Reflek, aku berlari mengejar tuan Penderghast. "Tunggu ayah. Ini seperti jebakan." Lotus mengambil batu lalu melemparkannya ke mayat-mayat yg menempel. Mayat itu lalu bangun dan berteriak. Lalu beberapa saat kemudian diam dan kembali tidur. Samar-samar terdengar suara teriakan tuan Penderghast. Kami berlari menuju sebuah lorong. Mengikuti lorong tersebut dan berhati-hati untuk tidak mendekati mayat tersebut. Suara itu berakhir di dalam ruangan yg luas, namun kosong tanpa isi.

"Sayang, bagaimana kalau kita sudahi perjalanan hari ini? Aku dan Lotus sudah capek dan harus beristirahat" bujuk Florence. Sebenarnya aku keberatan. Tapi Florence ada benarnya juga. Kami sudah terlalu capek dan harus beristirahat. Kami lalu mendirikan tenda lalu tidur. Beberapa jam kemudian aku mendengar suara erangan kesakitan. Dan suara minta tolong juga samar-samar terdengar. Aku mengintip keluar dan kaget ketika melihat.. Mayat-mayat hidup!

Bersambung

0 comments:

Post a Comment