Friday, May 10, 2013

Tips membuat cerita (versi sendiri)

Ada beberapa orang yang nanya, "Huda, kok bisa sih kamu bikin cerita kaya gitu? Kreatif gitu loh.".
Sebenernya ga ada rahasianya sama sekali, dan aku yakin semua pasti bisa bikin cerita ga kalah bagusnya sama aku. Atau bahkan jauh lebih bagus. Nih, ada tipsnya:

Sebelum Membuat Cerita
1. Jangan terburu-buru
Santai aja, walaupun udah pengen banget bikin cerita (tapi ide ga dapet-dapet), tetap santai. Baca buku atau artikel-artikel di internet bisa menjadi sumber inspirasi. Jadi, untuk apa terburu-buru untuk bikin cerita?

2. Cari referensi/inspirasi sebanyak-banyaknya
Inspirasi bisa didapatkan dimana saja. Percaya ato engga, kebanyakan inspirasi untuk cerita aku itu dapet di WC waktu boker. Entah kenapa ruangan kecil itu seakan-akan gudang inspirasi. Dan, kalau kalian membaca buku (novel/komik) trus pengen menggunakan adegan yang sama (atau serupa), jangan sekali-sekali copas 100% dari cerita tersebut. Serius, hasilnya bakal beda dan cepat atau lambat pasti akan ada yang tau. Jadi, coba diam dan pikirkan lagi ide tersebut. Ubah ide yang kamu dapat sedikit demi sedikit. Intinya jangan copas 100% lah -__-"
Dan, kalau emang udah mentok, kamu bisa tanyakan ide dari teman-teman kamu. Kalik aja mereka punya ide yang lebih bagus.

3. Bawa notes kemana-mana
Bukan, bukan bawa samsung galaxy note kemana-mana. Tapi notes kecil. Bukan ga mungkin kalau kamu lagi jalan-jalan, trus tiba-tiba nemu ide buat bikin cerita baru, kamu langsung catatkan ide tadi ke notes kecil tadi. Catat INTI dari ide tersebut.  Kapan? Dimana? Siapa? Ada apa? Semuanya kamu catat. Kalau lupa, yaa ingat-ingat aja dalam pikiran kalian

4. Ide udah dapat? Duduk dan pikirkan lagi!
Jangan terlalu PD untuk langsung menuliskan ide-ide tadi dan langsung nge-post. Duduk dulu, lalu pikirkan lagi apa yang akan kamu tulis. Jangan langsung bikin kata-katanya! Itu bisa dilakukan nanti.  Mantapkan setiap plot, setiap adegan dalam pikiranmu. Lalu lihat kembali notes kamu, kalau ada yang mau diedit, edit lah langsung. Baru kamu tuliskan.

Waktu Nulis Cerita
1. Cari kata-kata yang tepat untuk ceritamu
Menurutku, ini salah satu bagian yang paling sulit. Semuanya sudah ada diimajinasi kita, tapi bagaimana menuliskannya? Kalau menurut aku, sih, edit sedikit adegan tadi menjadi sedikit lebih sederhana untuk memudahkanmu. Jangan memaksakan untuk menggunakan adegan persis dengan pikiranmu. Ntar hasilnya kurang bagus.

2. Jangan buru-buru (lagi)
Dibilangin jangan buru-buru, ntar nyesel loh klo nemu ide yang lebih bagus untuk ceritamu yang baru aja dipost.

3. Susun cerita tersebut menjadi paragraf demi paragraf
Pembaca bakal pusing melihat cerita kalian tanpa adanya paragraf yang jelas. Dan usahakan satu paragraf itu terdiri dari satu masalah. Dan tambahkan masalah lain di akhir paragraf. Jadi, para pembaca ga bakal pusing bacanya. Kalau bisa, setiap percakapan juga diberi paragraf sendiri (Baru aku terapkan.. Lupa terus). Intinya, buat para pembaca membaca ceritamu dengan nyaman. Tidak bikin pusing dengan tidak adanya paragraf.

4. Udah selesai? Teliti lagi!
Blah, aku paling males bagian yang ini. Intinya sih, jangan sampai ada tulisan yang salah. Itu bisa membuat para pembaca bingung. Ntar kalau bingung, ga laku lagi ceritanya

5. Tanyakan reaksi teman-temanmu
Bagus ga? Ada yang kurang? Tanyakan terus setiap bikin cerita baru (tentu saja tanyakannya setelah dibaca oleh temenmu. Percuma kalau belum dibaca, ga bakal ngejawab juga). Dan ketika ada yang kurang suka/protes, tanyakan kenapa dan pelajari kesalahanmu!


Udah itu aja mungkin. Semua tips yang aku tulis tadi, itu tips versi aku. Engga ambil dari internet. Mungkin ada yang sama, itu kebetulan namanya. Jangan dibesar-besarkan.

Wednesday, May 8, 2013

This Little Town.. Part 7

"Apa yang kau lakukan? Sangat tidak adil jika kau menghalangiku dengan cara seperti ini dan kau tahu itu!" Bentakku pada Alexander.
 "Hei, tenang, sobat." dia menjawab bentakkan-ku tanpa ada emosi di wajahnya. Bahkan, dia terlihat sangat santai. " Aku tidak akan menghalangimu mencari informasi-informasi untuk mengetahui masa lalu, dan alasan untuk menangkapku. Karena aku tidak suka bermain dengan cara itu"
 "Kalau begitu, lebih baik kau menyingkir dari sini dan biarkan aku bekerja dengan caraku!" kataku, masih membentak.
 "Tidak secepat itu" jawab Alexander sambil mengambil sebuah kertas dan melambaikannya padaku. "Aku lebih suka bermain dengan caraku. Bagaimana kalau kau, detektif, mencari jawabannya melalui selembar kertas ini?" lanjutnya sambil meletakkan kertas tersebut di atas Bryan lalu beranjak keluar.
 "Oh, kebetulan tadi aku menyuntikkan racun ke infus Bryan" tambah Alexander. "Aku sebenarnya lebih suka jika dia mati, tapi, aku berubah pikiran. Ini, penawar racun untuknya. Silahkan suntikkan sendiri" katanya sambil memberikan penawar racunnya dan meninggalkan aku dalam keadaan bingung.

 Aku berjalan mendekati Bryan yang terbaring semakin lemah dan denyut jantungnya yang semakin melemah. Buru-buru aku menyuntikkan penawar racun ke infusnya dan menunggu reaksi Bryan. Sudah lima menit aku menunggu, tetapi tidak ada reaksi pada Bryan. Denyut jantungnya tetap semakin lemah. Aku panik, aku cari-cari dimana kesalahanku hingga aku menyadari kalau ternyata.. Klem infus Bryan dibuat seakan menjepit selang infus sehingga cairan infus tidak bisa mengalir ke tubuh Bryan. Dengan sigap aku melonggarkan  klem infus Bryan supaya penawar racunnya mengalir ke tubuh Bryan bertepatan dengan masuknya dokter yang akan memeriksa keadaan Bryan. "Ehm, apa yang kau lakukan?" tanya dokter.
 "Eh, selamat siang dokter" jawabku sopan. "Aku hanya melonggar-"
 Belum selesai aku berbicara, Bryan mendadak kejang-kejang. Dokter dengan sigap memeriksa keadaan Bryan sedangkan aku berdiri bingung disudut ruangan. Apa yang salah? Bukannya aku sudah memberinya penawar? Tak lama kemudian, sang dokter berbalik. Aku dapat melihat raut emosi yang meledak dari wajah dokter. "KAU MERACUNINYA!" teriak sang dokter.
 Aku terdiam, mencoba mencerna kata-katanya. "Maksud dokter? tanyaku
 "Jangan berpura-pura bodoh! Kau baru saja meracuninya, dan betapa cerobohnya kau meninggalkan jarum suntiknya di sini" kata dokter sambil menunjukkan jarum suntik yang tadi aku gunakan, lalu memanggil security. Aku yang masih dalam keadaan panik, tiba-tiba beranjak keluar dan berlari. Aku terus berlari menuju lift, hingga tiba-tiba, seorang security menangkapku dan memukulku keras sehingga aku jatuh pingsan.

 Ketika aku terbangun, aku benar-benar pusing sehingga aku bangun dengan bersusah payah. Badanku pegal-pegal dan aku tidak tahu aku berada dimana tetapi yang aku tahu, aku masih memakai kemeja dan mantelku. Mataku terasa berkunang-kunang. Aku pukul pelan kepalaku dan memejamkan mata hingga terasa sedikit lebih tenang. Kubuka mataku dan melihat sekelilingku dan menyadari kalau aku sedang berada di dalam penjara, dan aku kaget ketika melihat Karen sedang duduk di depanku.
 "Apa kau gila? Kau meracuni Bryan!" bentak Karen. "Aku tidak percaya kau meracuni orang yang begitu penting untuk kasus ini! Kau ta-"
 "Stop!" potongku. "Aku dijebak, oke?"
 "Lantas, kenapa kau berlari?"
 "Bajingan itu menipuku. Pertama, dia membuatku panik ketika dia berkata kalau dia telah meracuni Bryan dan beralasan bahwa dia berubah pikiran dan memberiku penawarnya. Kamu tentu saja tahu, ketika orang panik, mereka akan melakukan apapun untuk mengatasi rasa paniknya"
 "Tentu saja aku tahu itu. Tetapi tidak adakah sesuatu yang membuatmu curiga?" Sampai saat ini, Karen masih terlihat curiga padaku. Dan, nada bicaranya juga begitu sinis.
 "Dia adalah seorang jenius. Dia merapatkan klem infus sehingga membuat denyut jantung Bryan melemah dan membuatku yakin kalau Bryan memang telah diracuni. Dan tentu saja hal itu membuatku semakin panik dan langsung menuntikkan "penawar" itu ke tabung infus dan melonggarkan klemnya lima menit setelah aku menyuntikkan "penawar" itu karena aku juga baru menyadarinya" jelasku sambil mencengkram kepalaku karena menyadari betapa bodoh dan naifnya aku.
 "Maaf mengganggumu Nona Karen. Tetapi waktu untuk mengunjungi tuan Scott sudah habis" kata salah seorang polisi. "Tuan Scott, dulu aku sangat mengagumi-mu. Tetapi, aku tidak percaya bahwa kau telah membunuh seseorang yang tidak bersalah"
 "Maaf, tetapi itu semua adalah kecelakaan." bela Karen. "Kau akan mengetahuinya nanti"

Sudah lima jam aku duduk termenung di dalam penjara. "Bodoh! Bagaimana bisa aku tertipu dengan mudahnya?" gumamku sambil menghentakkan kedua tanganku di kursi lalu menyadari bahwa semua gumamanku tadi sia-sia. Aku menyandarkan kepalaku ke dinding. Mengingat kembali kejadian singkat di rumah sakit tadi. Dan itu mengingatkanku pada kertas yang diberikan si Psikopat. Segera aku ambil kertas itu di saku bajuku dan membacanya.

"BegitTu bodohnya kau bisa tEertipu dengan tipuanku. Mmungkin kaUu bukan detektiI-"

 Aku berhenti membaca surat itu. Aku pandangi beberapa kata di surat itu dan menemukan banyak kesalahan pengejaan. Banyak sekali kata-kata yang salah-satu hurufnya dibuat menjadi dua huruf. "Aneh. Apa maksud dari kertas ini?" gumamku. Aku lalu menerawang, mencoba memikirkan apa yang dipikirkan Psikopat itu saat menulis surat ini. Surat berukuran A4 dengan banyak tulisan yang salah hampir di setiap kalimat. Tiba-tiba aku mendapat sebuah ide.
 Aku ambil pena dari kantong kemejaku dan menuliskan huruf-huruf yang dilipatgandakan sehingga membuat sebuah kelimat;

"Temui aku di hutan Ravenwood pada tengah hari dua hari lagi"

 Aku tersenyum sinis sambil bergumam, "Kau memang licik" lalu melempar surat itu.

Bersambung


This Little Town.. Part 6


Setelah aku membaca surat itu, segera aku merogoh sakunya. Tapi sayang, Psikopat itu terlalu cerdas. Dia sudah mengambilnya. "Jelas, dia tidak ingin semua ini menjadi terlalu mudah" gumamku. Tak berapa lama kemudian, terdengar suara sirine ambulans dari kejauhan. Segera aku dan Karen segera menyuruh orang-orang untuk minggir dan memberi ruang untuk orang yg wajahnya tersiram air raksa ini. Ambulans berhenti tepat di hadapanku, setelah menjawab beberapa pertanyaan dari petugas ambulans, aku dan Karen bergegas pulang.

"Bagaimana dia bisa bergerak begitu cepat? Maksudku, mengambil dompetnya dan menyiramnya dengan air panas dengan sangat cepat! Bisakah kau mempercayainya?" tanyaku sambil beberapa kali memukul setir mobil. "Tenang, aku tahu kau sedang kesal. Tetapi tetaplah fokus, jangan terbawa emosi seperti ini. Itulah yg dia inginkan, membuatmu tenggelam dalam emosi dan disaat kau rentan, dia akan menjegalmu!" jelas Karen. Aku terdiam, Karen ada benarnya. Walaupun aku belum tahu apa motif sebenarnya dari Psikopat ini, tetapi tetap saja aku harus tenang dan mengendalikan emosi. Setelah percakapan tadi, keheningan melanda mobilku hingga akhirnya Karen meminta untuk menginap semalam di apartemenku. Aku mengangguk pelan dan tak berapa lama kemudian kami sampai di apartemenku.

Setelah memarkirkan mobil dan menuju kamarku, aku langsung mengambil berkas-berkas yg diberikan Psikopat itu. Tetapi Karen menahan tanganku dan memaksaku untuk istirahat. Dengan sedikit terpaksa, aku merebahkan tubuhku diatas kasur empukku dengan Karen di sebelahku. Mungkin aku memang sudah terlalu letih, karena tak sampai 5 menit, aku sudah tertidur pulas.

Ketika aku bangun, Karen sudah tidak ada di sisi kasurku. Dia hanya meninggalkan note di atas meja tempat aku menaruh jam wekerku.
Kupikir kau butuh sedikit istirahat. Jadi aku matikan alaramnya dan aku meminjam mobilmu untuk mengambil beberapa barang. Dan ya, aku juga membawa berkas-berkas dari psikopat itu. Aku hanya ingin kau beristirahat hari ini.

Peluk cium,
Karen

Aku tersenyum dan bergumam, "Dasar karen. Selalu saja seperti itu". Aku lalu bangun dan membuat segelas kopi susu dan meminumnya di atas balkon sambil memerhatikan kota. "Sudah lama aku tidak merasakan ketenangan ini" gumamku. Tetapi ketenangan itu tak berlangsung lama, karena tiba-tiba ponselku berdering. Ternyata yg menelponku adalah John, informanku. "Ya?" kataku membuka percakapan. "Scott! Cepat datang ke perumahan 'spring garden'!" jawabnya dengan nada sedikit panik yg lalu menutup teleponnya. Aku memutar mataku kesal karena seseorang mengganggu ketenanganku. Tapi ini adalah tugas, dan aku tak bisa mengabaikannya. Segera aku memakai pakaian kerjaku lalu memanggil taxi untuk pergi menuju rumah Karen.

Sesampainya di rumah Karen, aku melihat Karen yg kebetulan sedang mengunci pintu rumahnya. "Hey, kau mendapatkan kabar itu juga?" tanyaku sambil membayar ongkos taxi. "Ya, tentu saja" jawabnya sambil membuka pintu mobilku. "Mau ikut?" tanya Karen dengan nada sedikit menggoda. "Tentu saja" tanyaku sambil tertawa pelan.

"Kenapa hari ini jalanan harus tertutup oleh kabut?" tanya Karen kesal. Aku tertawa kecil, Karen sangat lucu dan menggemaskan saat sedang kesal. "Hey, apa yg kau ketawakan?" tanya Karen. "Ah, tidak" kataku sambil berdehem. Ya, jalanan saat ini sedang tertutup kabut yg cukup tebal dan mengesalkan. Kami terpaksa jalan sedikit lambat demi keselamatan kami. Tetapi pekerjaanku memaksaku untuk bergerak cepat. Dilema, tetapi keselamatanku harus diprioritaskan, siapa lagi yg akan menyelidiki kasus Psikopat ini kalau bukan aku?

30 menit kemudian kami akhirnya sampai di perumahan 'Spring Garden'. Kabut sudah mulai menipis, tetapi tetap menghalangi pengelihatan kami. Dan itu membuat kami kesulitan menemukan rumah korban. Untung John mau membantuku menemukan rumah korban melalui ponsel. Sekitar 10 menit lamanya kami mencari, akhirnya kami sampai juga di rumah korban yg didesain minimalis. Dengan warna-warna cerah seperti biru langit, hijau, putih, dan lain-lain dipadu dengan indahnya sehingga rumah ini terlihat sangat menarik.

"Hey, Scott! Kami sudah menunggumu" teriak John. "Ya, kabut menghalangi pandangan kami" jawabku dengan nada sedikit kesal. "Bisakah aku langsung memasuki rumah ini dan mengeceknya?" lanjutku. John dan beberapa polisi serentak menganggukkan kepalanya.

Aku dan Karen jalan beriringan memasuki rumah itu. Lalu kami mulai menelusuri ruangan demi ruangan di rumah itu. Rumah itu berantakan sekali, bercak darah yg tampak menghiasi dinding, pecahan kaca serta bingkai-bingkai foto yg sudah patah tampak seolah-olah menghiasi ruangan. Aneh, tidak ada satupun mayat yg tergeletak di rumah itu. Sentak kami menjadi bingung dan terdiam. Ditengah-tengah keheningan kami, terdengar suara oven yg mengagetkan kami. Segera aku dan Karen berlari menuju dapur dan membuka oven.

Di dalam oven itu tersimpan sesuatu yg bundar terbungkus kertas nylon dan terletak diatas piring. Di ujung piring tertera tulisan yg sepertinya ditulis menggunakan spidol permanen;
Nikmati bersama makanan yg sudah ku siapkan di meja makan
Aku dan karen langsung pandang-pandangan. "Bagaimana kalau kita letakkan saja benda ini ke meja makan?" tanya Karen. Aku mengangguk pelan lalu beranjak menuju ruang makan. Aku buka tudung saji yg berada di meja makan dan aku sangat terkejut ketika melihat potongan-potongan tubuh yg sudah sedikit gosong karena sepertinya sudah digoreng sebelumnya. "Jangan-jangan ini adalah.." kata Karen sambil memuka bungkusan nylon. Dan dugaan kami hampir tepat. Itu memang kepala manusia yg dipanggang. Tetapi sebenarnya itu adalah 2 kepala manusia yg dipanggang. Hanya saja kepala itu dibelah 2 terlebih dahulu dan disatukan bagian wajahnya lalu dibungku dengan nylon lalu dipanggang.

"John! Cepat kemari dan bawa polisi-polisi itu!" teriakku dari dalam rumah. Tak lama kemudian, John dan polisi datang menuju kami dan segera menginvestagasi potongan mayat itu. "John, bisakah kau mencari informasi tentang keluarga ini?" tanyaku. "wajah mereka agak sedikit sulit untuk dikenali tapi, aku akan berusaha" jawabnya sambil mengangkat pundaknya. Lalu aku menjabat tangan John. Ketika aku menjabat tangannya, tak sengaja aku menghadapkan wajahku ke jendela dan melihat seseorang berdiri di pinggir pagar memerhatikan kami.

Aku penasaran, dengan buru-buru aku keluar rumah dan mengejar pria itu. Tetapi dia sudah tidak ada. Aku berlari menuju tengah jalan daerah kompleks itu. Tetapi kabut masih menutupi pandanganku. Tiba-tiba seseorang menepuk pundakku sambil mengatakan, "Hey, ada apa denganmu?" yg lalu secara reflek aku arahkan pistolku padanya. "Whoa, hati-hati dengan itu" kata Karen. "Maaf. Aku hanya.. Melihat, seseorang" kataku. Karen mengernyitkan dahinya. "Lupakan itu, sekarang fokus dengan kasus yg terjadi akhir-akhir ini saja. Kau belum menyelesaikan kasus orang yg wajahnya rusak akibat air raksa, kan?" tanya Karen.

"Aku belum menyelesaikan kasus itu. Tetapi kasus ini juga harus aku selesaikan. Tetapi, pertanyaannya. Orang-orang ini berasal dari keluarga yg berbeda, atau.. Mereka adalah satu keluarga?"

Bersambung

This Little Town.. Part 5


Setelah aku membaca surat itu, segera aku merogoh sakunya. Tapi sayang, Psikopat itu terlalu cerdas. Dia sudah mengambilnya. "Jelas, dia tidak ingin semua ini menjadi terlalu mudah" gumamku. Tak berapa lama kemudian, terdengar suara sirine ambulans dari kejauhan. Segera aku dan Karen segera menyuruh orang-orang untuk minggir dan memberi ruang untuk orang yg wajahnya tersiram air raksa ini. Ambulans berhenti tepat di hadapanku, setelah menjawab beberapa pertanyaan dari petugas ambulans, aku dan Karen bergegas pulang.

"Bagaimana dia bisa bergerak begitu cepat? Maksudku, mengambil dompetnya dan menyiramnya dengan air panas dengan sangat cepat! Bisakah kau mempercayainya?" tanyaku sambil beberapa kali memukul setir mobil. "Tenang, aku tahu kau sedang kesal. Tetapi tetaplah fokus, jangan terbawa emosi seperti ini. Itulah yg dia inginkan, membuatmu tenggelam dalam emosi dan disaat kau rentan, dia akan menjegalmu!" jelas Karen. Aku terdiam, Karen ada benarnya. Walaupun aku belum tahu apa motif sebenarnya dari Psikopat ini, tetapi tetap saja aku harus tenang dan mengendalikan emosi. Setelah percakapan tadi, keheningan melanda mobilku hingga akhirnya Karen meminta untuk menginap semalam di apartemenku. Aku mengangguk pelan dan tak berapa lama kemudian kami sampai di apartemenku.

Setelah memarkirkan mobil dan menuju kamarku, aku langsung mengambil berkas-berkas yg diberikan Psikopat itu. Tetapi Karen menahan tanganku dan memaksaku untuk istirahat. Dengan sedikit terpaksa, aku merebahkan tubuhku diatas kasur empukku dengan Karen di sebelahku. Mungkin aku memang sudah terlalu letih, karena tak sampai 5 menit, aku sudah tertidur pulas.

Ketika aku bangun, Karen sudah tidak ada di sisi kasurku. Dia hanya meninggalkan note di atas meja tempat aku menaruh jam wekerku.
Kupikir kau butuh sedikit istirahat. Jadi aku matikan alaramnya dan aku meminjam mobilmu untuk mengambil beberapa barang. Dan ya, aku juga membawa berkas-berkas dari psikopat itu. Aku hanya ingin kau beristirahat hari ini.

Peluk cium,
Karen

Aku tersenyum dan bergumam, "Dasar karen. Selalu saja seperti itu". Aku lalu bangun dan membuat segelas kopi susu dan meminumnya di atas balkon sambil memerhatikan kota. "Sudah lama aku tidak merasakan ketenangan ini" gumamku. Tetapi ketenangan itu tak berlangsung lama, karena tiba-tiba ponselku berdering. Ternyata yg menelponku adalah John, informanku. "Ya?" kataku membuka percakapan. "Scott! Cepat datang ke perumahan 'spring garden'!" jawabnya dengan nada sedikit panik yg lalu menutup teleponnya. Aku memutar mataku kesal karena seseorang mengganggu ketenanganku. Tapi ini adalah tugas, dan aku tak bisa mengabaikannya. Segera aku memakai pakaian kerjaku lalu memanggil taxi untuk pergi menuju rumah Karen.

Sesampainya di rumah Karen, aku melihat Karen yg kebetulan sedang mengunci pintu rumahnya. "Hey, kau mendapatkan kabar itu juga?" tanyaku sambil membayar ongkos taxi. "Ya, tentu saja" jawabnya sambil membuka pintu mobilku. "Mau ikut?" tanya Karen dengan nada sedikit menggoda. "Tentu saja" tanyaku sambil tertawa pelan.

"Kenapa hari ini jalanan harus tertutup oleh kabut?" tanya Karen kesal. Aku tertawa kecil, Karen sangat lucu dan menggemaskan saat sedang kesal. "Hey, apa yg kau ketawakan?" tanya Karen. "Ah, tidak" kataku sambil berdehem. Ya, jalanan saat ini sedang tertutup kabut yg cukup tebal dan mengesalkan. Kami terpaksa jalan sedikit lambat demi keselamatan kami. Tetapi pekerjaanku memaksaku untuk bergerak cepat. Dilema, tetapi keselamatanku harus diprioritaskan, siapa lagi yg akan menyelidiki kasus Psikopat ini kalau bukan aku?

30 menit kemudian kami akhirnya sampai di perumahan 'Spring Garden'. Kabut sudah mulai menipis, tetapi tetap menghalangi pengelihatan kami. Dan itu membuat kami kesulitan menemukan rumah korban. Untung John mau membantuku menemukan rumah korban melalui ponsel. Sekitar 10 menit lamanya kami mencari, akhirnya kami sampai juga di rumah korban yg didesain minimalis. Dengan warna-warna cerah seperti biru langit, hijau, putih, dan lain-lain dipadu dengan indahnya sehingga rumah ini terlihat sangat menarik.

"Hey, Scott! Kami sudah menunggumu" teriak John. "Ya, kabut menghalangi pandangan kami" jawabku dengan nada sedikit kesal. "Bisakah aku langsung memasuki rumah ini dan mengeceknya?" lanjutku. John dan beberapa polisi serentak menganggukkan kepalanya.

Aku dan Karen jalan beriringan memasuki rumah itu. Lalu kami mulai menelusuri ruangan demi ruangan di rumah itu. Rumah itu berantakan sekali, bercak darah yg tampak menghiasi dinding, pecahan kaca serta bingkai-bingkai foto yg sudah patah tampak seolah-olah menghiasi ruangan. Aneh, tidak ada satupun mayat yg tergeletak di rumah itu. Sentak kami menjadi bingung dan terdiam. Ditengah-tengah keheningan kami, terdengar suara oven yg mengagetkan kami. Segera aku dan Karen berlari menuju dapur dan membuka oven.

Di dalam oven itu tersimpan sesuatu yg bundar terbungkus kertas nylon dan terletak diatas piring. Di ujung piring tertera tulisan yg sepertinya ditulis menggunakan spidol permanen;
Nikmati bersama makanan yg sudah ku siapkan di meja makan
Aku dan karen langsung pandang-pandangan. "Bagaimana kalau kita letakkan saja benda ini ke meja makan?" tanya Karen. Aku mengangguk pelan lalu beranjak menuju ruang makan. Aku buka tudung saji yg berada di meja makan dan aku sangat terkejut ketika melihat potongan-potongan tubuh yg sudah sedikit gosong karena sepertinya sudah digoreng sebelumnya. "Jangan-jangan ini adalah.." kata Karen sambil memuka bungkusan nylon. Dan dugaan kami hampir tepat. Itu memang kepala manusia yg dipanggang. Tetapi sebenarnya itu adalah 2 kepala manusia yg dipanggang. Hanya saja kepala itu dibelah 2 terlebih dahulu dan disatukan bagian wajahnya lalu dibungku dengan nylon lalu dipanggang.

"John! Cepat kemari dan bawa polisi-polisi itu!" teriakku dari dalam rumah. Tak lama kemudian, John dan polisi datang menuju kami dan segera menginvestagasi potongan mayat itu. "John, bisakah kau mencari informasi tentang keluarga ini?" tanyaku. "wajah mereka agak sedikit sulit untuk dikenali tapi, aku akan berusaha" jawabnya sambil mengangkat pundaknya. Lalu aku menjabat tangan John. Ketika aku menjabat tangannya, tak sengaja aku menghadapkan wajahku ke jendela dan melihat seseorang berdiri di pinggir pagar memerhatikan kami.

Aku penasaran, dengan buru-buru aku keluar rumah dan mengejar pria itu. Tetapi dia sudah tidak ada. Aku berlari menuju tengah jalan daerah kompleks itu. Tetapi kabut masih menutupi pandanganku. Tiba-tiba seseorang menepuk pundakku sambil mengatakan, "Hey, ada apa denganmu?" yg lalu secara reflek aku arahkan pistolku padanya. "Whoa, hati-hati dengan itu" kata Karen. "Maaf. Aku hanya.. Melihat, seseorang" kataku. Karen mengernyitkan dahinya. "Lupakan itu, sekarang fokus dengan kasus yg terjadi akhir-akhir ini saja. Kau belum menyelesaikan kasus orang yg wajahnya rusak akibat air raksa, kan?" tanya Karen.

"Aku belum menyelesaikan kasus itu. Tetapi kasus ini juga harus aku selesaikan. Tetapi, pertanyaannya. Orang-orang ini berasal dari keluarga yg berbeda, atau.. Mereka adalah satu keluarga?"

Bersambung

This Little Town.. Part 4


"A.. Alexander Black?" tanyaku terbata-bata. "Ya, perkenalkan" jawabnya sambil tertawa aneh seperti tokoh joker dalam film Batman. "Apa yg kau mau? Dan apa motifmu membunuh mereka?" tanyaku sebisa mungkin untuk tenang. "Aku hanya seseorang yg menginginkan kesenangan dan tantangan. Motifku? Hmmm, balas dendam?" jawabnya dengan cara yg sedikit aneh. Setiap kali ada jeda di antara perkataannya, dia menjilat bibirnya. "Balas dendam? Untuk apa?" tanyaku. Dia tidak menjawabnya. Tetapi dia memberiku map berwarna hijau transparan dan ada beberapa kertas di dalamnya. "Baiklah, kau tidak mau menjawabnya. Tetapi apa hubungannya denganku? Kau tau, semua pesan yg kau tujukan" lanjutku. "Kenapa kau bertanya? Kau detektifnya. Kau tokoh utamanya! Apa kau akan mengakhiri semua permainan ini sekarang?" jawabnya sambil mengulangi tawa aneh dan jilatan bibirnya setiap ada jeda. "Ngomong-ngomong, kalian sudah sampai tujuan kalian" lanjutnya. "Hey, ini rumahku. Bagaimana kau tahu rumahku? Aku bahkan tidak memberitahu tujuanku!" bentak karen. Namun Psikopat itu menjawabnya dengan tawa anehnya sambil mengangkat tangannya memberi isyarat pada kami untuk segera keluar. Aku lalu keluar dari taxi itu dan membiarkan Psikopat itu pergi. Lalu aku memperhatikan Karen yg sedang memperhatikanku dengan wajah penuh kebingungan.


"Kenapa kau tidak menangkapnya? Dia kriminal!" tanya Karen. "Tidak bisa, kita tidak punya bukti dan kita bahkan tidak tau motifnya. Kenapa dia mau balas dendam pada orang-orang itu. Tanpa adanya bukti dan motif yg kuat, pengacara sehandal apapun tidak bisa membantu kita" jawabku. "Tetapi dia memberimu kesempatan!" bentaknya. "Tidak bisa, mengambil kesempatan itu sama saja dengan aku menyerah. Percayalah, reputasiku akan turun begitu aku mengambil kesempatan itu. Dia bisa menjadi apa saja yg dia mau. Dia sangat licik" jelasku panjang lebar. Karen menundukkan kepalanya, lalu mengangkatnya lagi dan berkata, "Kau ada benarnya juga" sambil mengambil satu langkah mendekat dan memegang tanganku. "Bagaimana kalau kita beristirahat sebentar dan mempelajari berkas-berkas yg tadi dia kasih?" tawarnya. Aku mengangguk dan beranjak kedalam rumah Karen.


Aku duduk di atas sofa Karen yg berwarna jingga. Ya, Karen menyukai warna-warna pastel. Furnitur berwarna Coklat terang, jingga dan oranye banyak dijumpai di rumahnya. Tak heran jika rumah Karen terkesan terang. "Kau mau minum apa?" tanya Karen. "Cappuchino saja" jawabku sambil memperhatikan rangkaian bunga palsu di atas buffet Karen. Tak lama kemudian, Karen pun datang membawakan segelas teh dan secangkir cappuchino dan meletakkannya di atas meja di ruang tamu Karen. Aku pun kembali duduk di atas sofa jingga itu dan meneguk cappuchino yg dibuat Karen. Setelah itu, aku dan Karen berbincang-bincang dan beristirahat.


Malamnya, aku yg sedang menonton sebuah film bersama Karen di kamarnya, beranjak dari kamarnya dan mengambil map yg diberikan Psikopat gila tadi. "Bagaimana kalau kita kembali bekerja?" tanyaku sambil melambaikan map itu. Karen tersenyum lalu mengajakku untuk pergi ke ruang kerjanya. Aku meletakkan map itu di atas meja kerja Karen, membuka map itu, mempelajari berkas-berkas yg ada di map itu bersama Karen dan menuliskan kesimpulannya di note yg selalu aku bawa.
Bekerja di salah satu restauran seafood bintang 5. Terjadi tuduhan bahwa Alexander meracuni pelanggannya. Lalu dia dimasukkan ke penjara selama 8 tahun. Dan setelah keluar, dia dikucilkan dan menjadi stres berat. Diduga menjadi gila karena mengalami tekanan sosial dan overdosis obat.
"Hey, menurutmu, apa maksudnya memberikan peta ini?" tanya Karen sambil menggelar peta itu. Di peta tersebut, ada beberapa lokasi yg dilingkari. Sebagian dilingkari dengan tinda merah, dan yg lainnya dengan tinta hitam. "Perhatikan, lokasi yg dilingkari dengan tinta merah adalah lokasi orang-orang yg sudah dia bunuh" kataku. "Dengan kata lain, lokasi dengan tinta hitam adalah target selanjutnya" lanjut Karen. "Betul, tetapi masalahnya.. Kita tidak tahu dia akan memulai dari mana" kataku. "Dan waktunya" tambah Karen. "Bagaimana kalau kita istirahat sejenak? Mungkin kita akan menemukan petunjuk lainnya setelah pikiran kita sedikit lebih jernih" tawarku. Karen mengangguk pelan lalu menjulurkan tangannya. Aku genggam tangannya dan lalu kami keluar untuk membeli camilan.

Malam itu kami berjalan-jalan di tengah kota dan menemukan cafe yg terlihat nyaman. Kami lalu memutuskan untuk duduk dan makan di sana. Setelah memesan beberapa makanan pada pelayan, kami berbincang-bincang sambil menunggu makanan kami datang. Karena kami mengambil meja di luar cafe, kami pun menjadi lebih rileks untuk berbicara. Mungkin karena aura-aura santai di daerah luar. Namun, listrik mendadak menjadi tidak stabil lagi, lampu kota kedap-kedip membuatku pusing. Tetapi entah kenapa seperti ada sesuatu yg menyuruhku untuk fokus memperhatikan orang-orang yg lewat di depanku. Dan di sana ada seseorang yg memakai jaket tebal, menutup mukanya dengan hood jaket itu. Aku sedikit curiga dengan orang itu dan memutuskan untuk memperhatikan apa yg akan dilakukannya. Lampu jalan masih berkedip-kedip. Dan orang itu masih berjalan dengan santai. Lalu tiba-tiba lampu mati total. Dan kira-kira 15 detik kemudian, listrik kembali hidup dan disusul dengan teriakan seseorang.

Aku segera berlari menuju orang yg berteriak. Aku lihat dia sedang berguling-guling sambil memegang wajahnya yg berasap. "Wajahnya terbakar, tapi tidak ada api. Tidak ada bau gas" kataku sedang menganalisa. Lalu aku melihat genangan air tak jauh dari tempatnya berguling, aku ambil sekeping uang logam di kantung jaketku dan meletakkannya di atas genangan air itu. "Airnya bereaksi, ini adalah air raksa! Cepat panggil ambulans!" teriakku. Aku segera mendekati orang yg berguling-guling itu dan menahannya. "Hey, bertahanlah! Ambulans akan datang" kataku berusaha menenangkan. Aku perhatikan orang ini, ada sepucuk surat di kantong mantelnya. Aku ambil surat itu dan kubaca surat itu:
Tebak siapa aku!

Bersambung

This Little Town.. Part 3


Siang itu, aku dan Karen langsung menuju ke tempat di mana orang-orang hilang dan tempat di mana orang-orang dibunuh. Dari semua tempat yg kami kunjungi, ada satu kejanggalan yg tidak pernah kutemui sebelumnya. Psikopat ini bermain dengan sangat bersih. Tak ada bukti dan tak ada sesuatu yg bisa dijadikan bukti. Jelas, jarang orang-orang bisa melakukan kejahatan sebersih ini. "Ayolah Scott, masa tidak ada barang yg mencurigakan sama sekali?" tanya Karen. "Tidak. Tidak ada sama sekali. Sidik jari atau apapun! Semuanya tidak dapat kutemukan!" jawabku sambil menggebrak meja. Tiba-tiba, aku mendapatkan sebuah ide. "Bagaimana kalau ini semua membentuk sebuah pola?" kataku. "Pola? Maksudmu?" tanya Karen. Aku lalu menyuruhnya diam dan menyuruhnya untuk langsung menuju kantor.


Sesampainya di kantor, aku mengambil sebuah peta kota dan menggelarnya di atas meja. Lalu aku menandai setiap tempat dimana orang-orang itu mati dan hilang. Dan lalu aku menghubungkan tiap tanda yg aku buat sehingga membentuk lambang seperti ini:/-\Aku mengernyitkan dahi tanda tidak mengerti. Aku lalu duduk di atas sebuah kursi sambil memikirkan maksud dari lambang itu. "Lalu, apa?" tanya Karen. Aku diam tidak menjawabnya. Sepertinya ada sesuatu yg janggal dari lambang itu. Seperti sebuah lambang yg belum sempurna. Sentak terpikir sesuatu olehku, "Alexander Black, Alexander... OH YA!" jeritku lalu menambungkan sebuah sudut di lambang itu sehingga membentuk huruf 'A' sepurna. "Tunggu. Bukankah itu gudang tua yg sudah lama tidak terpakai?" kata Karen sambil menunjuk ujung dari huruf 'A' itu. "Ya, dan itu adalah tujuan kita besok" kataku yg baru sadar ternyata sudah larut.  


Keesokan harinya, aku sengaja bangun cepat karena aku harus menjemput Karen di rumahnya. "Hey, apakah kau lama menunggu?" tanya Karen sambil menggendong anjingnya yg bernama Jack. "Tidak, baru saja sampai" jawabku dengan semangat. Lalu kami pergi menuju gudang tua itu.


Gudang tua yg akan kami kunjungi sebenarnya adalah gudang tak terpakai yg sudah terbengkalai bertahun-tahun lalu. Kebetulan juga letaknya di ujung kota. 


Sesampainya di gudang itu, Jack langsung menggonggong seperti seekor anjing yg sedang mencium sesuatu. "Heeey, tenang Jack." kata Karen sambil mengikatkan anjingnya di sebuah pasak yg entah digunakan sebagai apa. Setelah Karen mengikat anjingnya, kami ber-2 memasuki gudang itu. Aneh, tidak ada apa-apa selain gudang tua yg kosong tak berisi dan berdebu. "Tidak! Ini tidak mungkin! Pasti ada yg salah" kataku panik. "Tenang Scott. Psikopat itu pasti menyembunyikan sesuatu di sini" kata Karen sambil pergi menduduki sebuah kursi yg kebetulan berada di tengah gudang. Aku lalu keluar dari gudang itu untuk menenangkan diri. "Scot! Sini, cepat!" teriak Karen mengagetkanku. Buru-buru aku memasuki gudang dan melihat Karen memberi isyarat untuk segera menghampirinya. "Lihat, lihat dinding sebelah sana. Seperti ada sesuatu" katanya. Aku mengernyitkan dahiku dan memfokuskan pandanganku. Dan benar saja, samar-samar aku melihat tulisan yg sepertinya itu adalah petunjuk selanjutnya. Aku langsung menuju mobilku dan membuka bagasinya untuk mengambil alat pemancar sinar UV untuk melihat tulisan itu. Sesampainya di gudang, aku langsung menyinari dinding itu dan membaca pesan yg tertera di dinding itu.Tolong!! Di bawah sini!"Karen! Bawa anjingmu ke sini!" perintahku. Karen berlari keluar gudang dan beberapa saat kemudian, dia memasuki gudang sambil membawa anjingnya. Karen melepaskan pengait di kalung leher anjingnya sambil berkata, "Ayo Jack, bantu kami" yg lalu disusul dengan gonggongan Jack. Anjing itu berlari mengelilingi gudang lalu pergi ke sebuah titik dan lalu menggalinya. Setelah beberapa menit menunggu, Jack menggonggong seolah-olah memberi isyarat padaku untuk melihat apa yg dia temukan. Tentu saja aku langsung melihat lubang yg dia gali. 


Betapa kagetnya aku melihat bagian tubuh manusia di lubang galian yg dibuat oleh Jack. Aku lebarkan lubang itu dengan tanganku dan melihat badan lain menindih badan orang yg pertama aku temukan. "Ada tubuh lain, tempat ini pasti digunakan untuk menyimpan mayat-mayat tersebut" kataku. "Kalau begini, sepertinya ada petunjuk di antara mayat-mayat yg dikuburkan di sini. Tetapi ini akan memakan waktu yg lama" lanjutku. "Tidak" kata Karen sambil menunjuk tanah yg disinari dengan cahaya dari lubang yg ada di atap. "Kau yakin? Apa yg membuatmu yakin?" tanyaku. "Entahlah, feelingku berkata begitu" jawabnya. Aku ambil sekop dari mobilku dan menggali tanah yg ditunjuk Karen tadi. Setelah beberapa saat mencangkul, sekopku menghantam sesuatu. "Hmm, apa ini?" kataku sambil mengusapkan tanganku ke benda itu untuk mengusir debu. "Gali lagi, sepertinya itu adalah peti mati" kata Karen, Aku lalu membuat lubang yg cukup luas untuk mengangkat peti itu dan lalu mengangkat peti itu dan membukanya. Ketika aku membuka peti itu, bau yg sangat menyengat langsung menusuk hidungku. Aku reflek menutup hidungku dan mataku. "Bau sekali" gumamku dan aku juga melihat Karen yg menjauh dari peti itu. Lalu aku hadapkan pandanganku kembai ke peti itu dan melihat organ dalam manusia. Banyak sekali dan ditengah organ itu ada usus manusia yg disusun sehingga membentuk kata:
Kau belum menemukanku 
di sebelah usus tersebut ada 2 bola mata menghadap ke langit-langit gudang. Aku curiga dengan ke-2 bola mata itu, aku lalu mengikuti arah ke-2 bola mata tersebut menghadap dan sangat terkejut ketika melihat ada bom di atas sana. "KAREN! MENJAUH DARI GUDANG!!" teriakku sambi berlari secepat yg aku bisa. "DUAAAR!!" suara bom memekakkan telingaku dan dengan reflek aku langsung tiarap berharap tidak terkena puing-puing gudang yg beterbangan.

"Scott! Bangun!" teriak Karen. Aku lalu mengangkat kepalaku dan melihat ke arah gudang yg hancur itu. "Cerdik sekali. Dia sengaja menimbun mayat-mayat itu dengan cara meruntuhkan bangunan sehingga polisi lain tidak bisa mencari bukti" kataku. "Maksudmu?" tanya Karen. "Dengan kata lain, aku harus memecahkan kasus ini sendiri" jawabku.

Aku,Karen dan Jack lalu berjalan beberapa blok lalu memanggil taxi karena mobilku sudah rusak terkena radiasi dari bom yg diletakkan Psikopat itu. "Mau kemana?" tanya supir taxi itu. "jalan saja dulu, nanti aku kasih tau alamatnya" jawab Karen. Lalu taxipun berjalan. "Bagaimana? Apakah hari kalian seru? Maksudku, bermain-main di gudang lalu hampir mati dengan bom" kata supir taxi itu. Sentak aku dan Karen terkejut mendengarnya. "Bagaimana kau bisa tahu?" tanyaku. Supir itupun lalu menghadapkan wajahnya padaku. Dan aku pun sangat terkejut dan baru menyadari bahwa ternyata supir itu adalah Alexander Black. Si psikopat gila.

Bersambung

This Little Town.. Part 2


Aku pulang ke apartemenku dan meneliti berkas psikopat itu. Aku masih tidak mengerti, pihak rumah sakit jiwa itu tidak menulis data ini dengan lengkap. "Hey, jangan hanya bergantung pada kasus Alexander black itu saja. Ingat, masih ada beberapa keluarga yg meninggal dan yg hilang. Sekarang pilih, mana yg akan kamu kerjakan dan yg mana yg akan kamu berikan pada orang lain?" Karen mengingakanku. "Aku tidak tahu" jawabku singkat. "Oke, mungkin kamu perlu waktu" katanya sambil mengelus rambutku dan lalu keluar dari apartemenku.

Waktu sudah menunjukkan jam 10 tepat dan tiba-tiba aku merasa lapar. Berhubung besok aku libur, aku memutuskan untuk jalan-jalan mencari makan. Tak lupa aku menghubungi Karen untuk mengajaknya makan.
Hey, tiba-tiba aku merasa lapar. Mungkin kamu mau menemaniku makan? Aku menunggumu di restoran 'De royale'
Lalu aku menekan tombol 'kirim' lalu menaruh ponsel-ku di atas sofa empuk hitamku dan bersiap-siap.

Aku sudah siap untuk berangkat. Aku ambil ponselku dan melihat pesan balasan dari karen. "Hmm? Tidak dibalas? Ah, mungkin sudah tidur" gumamku dan lalu berlalu menuju restoran 'De Royale'. Ketika aku sampai, aku melihat wanita cantik menggunakan dress hitam dengan sedikit bordiran dan berambut coklat tergerai dengan sempurna melambai ke arahku, "Scott! Sinii" kata wanita itu. Dengan sedikit ragu aku menuju ke meja itu dan duduk di sana. "Tunggu, Karen? Takku sangka kamu cantik sekali hari ini" kataku setengah terkejut. Dia tertawa kecil sambil menepuk pundakku. Malam itu, kami berbicara tentang hal-hal ringan dan sebisa mungkin melupakan kerjaan kami.

Tak terasa makanan kami sudah habis. Aku memanggil pelayan untuk membayar makanan kami. Ketika pelayan itu memandangiku dengan senyuman sinis, aku terkejut hingga mukaku terlihat pucat dan menurunkan tanganku. "Ada apa? Apakah ada yg aneh?" tanya Karen padaku. Aku mengambil sebuah foto yg kusimpan di saku celanaku dan memperlihatkan foto itu padanya, "Lihat pelayan itu. Matanya merah, brewok tipis berwarna sedikit kemerahan dan hidungnya yg bengkok karena sebuah kecelakaan mobil?" kataku. "Iya aku meli.. Tunggu, darimana kamu tahu itu bekas kecelakaan?" tanyanya. "Karena orang itu adalah psikopat gila yg hilang" jelasku dengan yakin sambil memperlihatkan foto psikopat yg dari tadi aku simpan di kantung celanaku. "Iya, itu memang dia" katanya singkat. Aku lalu memperhatikan setiap gerak-geriknya. Dia memegang nampan yg di atasnya terletak makanan, pisau dan garpu dan dia sedang menuju ke salah seorang pelanggan. Dia menatap pelanggan itu dengan tajam dan berjalan perlahan ke belakang pelanggan itu. Perasaanku tidak enak, aku lalu berdiri dan berjalan untuk meyakinkan kalau dia tidak akan berbuat hal-hal yg membahayakan. Tetapi niatan itu dirusak dengan matinya listrik satu kota. Setiap orang di restauran itu mengeluh. Tetapi diantara suara orang mengeluh itu, ada satu suara teriakan, "AAAAAH!!" yg tentu saja mengagetkanku. Aku lekas mengambil senter mini yg selalu aku simpan di kantung bajuku dan berlari ke arah teriakan itu. Dan di sana aku melihat seorang ibu yg meninggal karena urat lehernya yg sobek dan di depannya ada seorang pria (yg sepertinya itu adalah suaminya) yg kepalanya sudah tertancap sebilah pisau dan sebuah garou yg menancap di lehernya. Listrik perlahan-lahan hidup ketika aku mematikan senter miniku. 
Lalu tanpa pikir panjang, aku berlari ke luar restauran dan mencari psikopat itu. Aku lalu melihat psikopat itu sedang melihatku dengan tajam di antara kerumunan orang yg berjalan sambil mengurusi urusannya sendiri. Dengan cepat aku berjalan cepat kearahnya. Tetapi orang-orang ini seperti menghalangiku hingga akhirnya ketika aku lihat kembali keberadaannya, dia sudah menghilang. Lalu aku melihat sekelilingku, barangkali dia belum jauh. Tetapi usahaku sa-sia saja karena dia sudah tak tampak lagi. 'Tiiin!Tiiin' suara klakson mobil mengalihkan perhatianku. "Ayo, kuantar kamu pulang" ajak Karen. Tetapi aku menolaknya karena aku harus menginvestigasi korban di restauran tadi.

"Aku tidak percaya aku kehilangannya" gerutuku ketika berjalan menuju restauran itu. Ketika aku sampai di restauran 'De Royale' aku langsung menembus kerumunan yg mengerumuni korban. Aku melihat dan mencari setiap barang bukti yg bisa aku dapat. Tetapi aneh, tidak ada barang bukti yg bisa aku dapatkan. Kecuali satu surat yg aku temukan di atas meja. Surat itu ditulis dengan darah dan bertuliskan:
Temukan aku, detektif

Aku melipat kertas itu lalu memanggil pihak berwajib untuk mengurus mayat itu dan akhirnya pulang. Ketika sampai di apartemen, aku langsung tidur karena kecapean.

Bunyi alarm membangunkanku, aku langsung bangun dan mencuci muka lalu mengambil koran yg biasanya ditaruh housekeeping di depan pintuku. Ketika aku membuka pintu, aku melihat Karen yg kebetulan sedang mengambil koran. "Oh, hey Scott. Kebetulan sekali. Nih korannya" katanya sambil menyodorkan koran. Belum sempat aku menjawab, dia tiba-tiba melanjutkan, "Hey, bagaimana? Apa kamu sudah menentukan kasus mana yg akan kamu selesaikan?" katanya tak sabaran. Lalu aku menjawab, "Tunggu, baru saja terpikir olehku. Bagaimana kalau sebenarnya orang-orang ini memiliki hubungan dengan psikopat?". "Maksudmu?" tanya Karen. "Coba saja, kenapa orang-orang ini mati dan hilang saat listrik padam? Memang mungkin saja semua orang jahat akan berpikiran begitu. Tapi tidak ada satupun barang-barang mereka yg hilang. Bahkan dompet yg jelas-jelas berada di kantung korban saja tidak diambil. Penjahat bodoh macam apa yg meninggalkan barang-barang berharga korbannya? Lalu, ketika di restauran kemarin. Psikopat itu berjalan perlahan menuju korban seakan-akan dia sebenarnya menunggu listrik untuk padam dan dia akan beraksi saat itu. Dan pembunuhan itu dilakukannya dengan cepat. Bahkan dia sempat menulis surat dengan darah mereka (sambil menyodorkan surat itu). Lalu dari semua yg kubcarakan tadi, bagaimana kalau setiap korban yg menginggal kemarin-kemarin, adalah korban dar psikopat itu?" jelasku panjang lebar. Karen lalu mengangguk pelan dan berkata, "Mungkin saja. Bagaimana kalau kita meuju tempat kejadian?" ajaknya. Akupun menyanggupinya.

Bersambung