Friday, May 10, 2013

Tips membuat cerita (versi sendiri)

Ada beberapa orang yang nanya, "Huda, kok bisa sih kamu bikin cerita kaya gitu? Kreatif gitu loh.".
Sebenernya ga ada rahasianya sama sekali, dan aku yakin semua pasti bisa bikin cerita ga kalah bagusnya sama aku. Atau bahkan jauh lebih bagus. Nih, ada tipsnya:

Sebelum Membuat Cerita
1. Jangan terburu-buru
Santai aja, walaupun udah pengen banget bikin cerita (tapi ide ga dapet-dapet), tetap santai. Baca buku atau artikel-artikel di internet bisa menjadi sumber inspirasi. Jadi, untuk apa terburu-buru untuk bikin cerita?

2. Cari referensi/inspirasi sebanyak-banyaknya
Inspirasi bisa didapatkan dimana saja. Percaya ato engga, kebanyakan inspirasi untuk cerita aku itu dapet di WC waktu boker. Entah kenapa ruangan kecil itu seakan-akan gudang inspirasi. Dan, kalau kalian membaca buku (novel/komik) trus pengen menggunakan adegan yang sama (atau serupa), jangan sekali-sekali copas 100% dari cerita tersebut. Serius, hasilnya bakal beda dan cepat atau lambat pasti akan ada yang tau. Jadi, coba diam dan pikirkan lagi ide tersebut. Ubah ide yang kamu dapat sedikit demi sedikit. Intinya jangan copas 100% lah -__-"
Dan, kalau emang udah mentok, kamu bisa tanyakan ide dari teman-teman kamu. Kalik aja mereka punya ide yang lebih bagus.

3. Bawa notes kemana-mana
Bukan, bukan bawa samsung galaxy note kemana-mana. Tapi notes kecil. Bukan ga mungkin kalau kamu lagi jalan-jalan, trus tiba-tiba nemu ide buat bikin cerita baru, kamu langsung catatkan ide tadi ke notes kecil tadi. Catat INTI dari ide tersebut.  Kapan? Dimana? Siapa? Ada apa? Semuanya kamu catat. Kalau lupa, yaa ingat-ingat aja dalam pikiran kalian

4. Ide udah dapat? Duduk dan pikirkan lagi!
Jangan terlalu PD untuk langsung menuliskan ide-ide tadi dan langsung nge-post. Duduk dulu, lalu pikirkan lagi apa yang akan kamu tulis. Jangan langsung bikin kata-katanya! Itu bisa dilakukan nanti.  Mantapkan setiap plot, setiap adegan dalam pikiranmu. Lalu lihat kembali notes kamu, kalau ada yang mau diedit, edit lah langsung. Baru kamu tuliskan.

Waktu Nulis Cerita
1. Cari kata-kata yang tepat untuk ceritamu
Menurutku, ini salah satu bagian yang paling sulit. Semuanya sudah ada diimajinasi kita, tapi bagaimana menuliskannya? Kalau menurut aku, sih, edit sedikit adegan tadi menjadi sedikit lebih sederhana untuk memudahkanmu. Jangan memaksakan untuk menggunakan adegan persis dengan pikiranmu. Ntar hasilnya kurang bagus.

2. Jangan buru-buru (lagi)
Dibilangin jangan buru-buru, ntar nyesel loh klo nemu ide yang lebih bagus untuk ceritamu yang baru aja dipost.

3. Susun cerita tersebut menjadi paragraf demi paragraf
Pembaca bakal pusing melihat cerita kalian tanpa adanya paragraf yang jelas. Dan usahakan satu paragraf itu terdiri dari satu masalah. Dan tambahkan masalah lain di akhir paragraf. Jadi, para pembaca ga bakal pusing bacanya. Kalau bisa, setiap percakapan juga diberi paragraf sendiri (Baru aku terapkan.. Lupa terus). Intinya, buat para pembaca membaca ceritamu dengan nyaman. Tidak bikin pusing dengan tidak adanya paragraf.

4. Udah selesai? Teliti lagi!
Blah, aku paling males bagian yang ini. Intinya sih, jangan sampai ada tulisan yang salah. Itu bisa membuat para pembaca bingung. Ntar kalau bingung, ga laku lagi ceritanya

5. Tanyakan reaksi teman-temanmu
Bagus ga? Ada yang kurang? Tanyakan terus setiap bikin cerita baru (tentu saja tanyakannya setelah dibaca oleh temenmu. Percuma kalau belum dibaca, ga bakal ngejawab juga). Dan ketika ada yang kurang suka/protes, tanyakan kenapa dan pelajari kesalahanmu!


Udah itu aja mungkin. Semua tips yang aku tulis tadi, itu tips versi aku. Engga ambil dari internet. Mungkin ada yang sama, itu kebetulan namanya. Jangan dibesar-besarkan.

Wednesday, May 8, 2013

This Little Town.. Part 7

"Apa yang kau lakukan? Sangat tidak adil jika kau menghalangiku dengan cara seperti ini dan kau tahu itu!" Bentakku pada Alexander.
 "Hei, tenang, sobat." dia menjawab bentakkan-ku tanpa ada emosi di wajahnya. Bahkan, dia terlihat sangat santai. " Aku tidak akan menghalangimu mencari informasi-informasi untuk mengetahui masa lalu, dan alasan untuk menangkapku. Karena aku tidak suka bermain dengan cara itu"
 "Kalau begitu, lebih baik kau menyingkir dari sini dan biarkan aku bekerja dengan caraku!" kataku, masih membentak.
 "Tidak secepat itu" jawab Alexander sambil mengambil sebuah kertas dan melambaikannya padaku. "Aku lebih suka bermain dengan caraku. Bagaimana kalau kau, detektif, mencari jawabannya melalui selembar kertas ini?" lanjutnya sambil meletakkan kertas tersebut di atas Bryan lalu beranjak keluar.
 "Oh, kebetulan tadi aku menyuntikkan racun ke infus Bryan" tambah Alexander. "Aku sebenarnya lebih suka jika dia mati, tapi, aku berubah pikiran. Ini, penawar racun untuknya. Silahkan suntikkan sendiri" katanya sambil memberikan penawar racunnya dan meninggalkan aku dalam keadaan bingung.

 Aku berjalan mendekati Bryan yang terbaring semakin lemah dan denyut jantungnya yang semakin melemah. Buru-buru aku menyuntikkan penawar racun ke infusnya dan menunggu reaksi Bryan. Sudah lima menit aku menunggu, tetapi tidak ada reaksi pada Bryan. Denyut jantungnya tetap semakin lemah. Aku panik, aku cari-cari dimana kesalahanku hingga aku menyadari kalau ternyata.. Klem infus Bryan dibuat seakan menjepit selang infus sehingga cairan infus tidak bisa mengalir ke tubuh Bryan. Dengan sigap aku melonggarkan  klem infus Bryan supaya penawar racunnya mengalir ke tubuh Bryan bertepatan dengan masuknya dokter yang akan memeriksa keadaan Bryan. "Ehm, apa yang kau lakukan?" tanya dokter.
 "Eh, selamat siang dokter" jawabku sopan. "Aku hanya melonggar-"
 Belum selesai aku berbicara, Bryan mendadak kejang-kejang. Dokter dengan sigap memeriksa keadaan Bryan sedangkan aku berdiri bingung disudut ruangan. Apa yang salah? Bukannya aku sudah memberinya penawar? Tak lama kemudian, sang dokter berbalik. Aku dapat melihat raut emosi yang meledak dari wajah dokter. "KAU MERACUNINYA!" teriak sang dokter.
 Aku terdiam, mencoba mencerna kata-katanya. "Maksud dokter? tanyaku
 "Jangan berpura-pura bodoh! Kau baru saja meracuninya, dan betapa cerobohnya kau meninggalkan jarum suntiknya di sini" kata dokter sambil menunjukkan jarum suntik yang tadi aku gunakan, lalu memanggil security. Aku yang masih dalam keadaan panik, tiba-tiba beranjak keluar dan berlari. Aku terus berlari menuju lift, hingga tiba-tiba, seorang security menangkapku dan memukulku keras sehingga aku jatuh pingsan.

 Ketika aku terbangun, aku benar-benar pusing sehingga aku bangun dengan bersusah payah. Badanku pegal-pegal dan aku tidak tahu aku berada dimana tetapi yang aku tahu, aku masih memakai kemeja dan mantelku. Mataku terasa berkunang-kunang. Aku pukul pelan kepalaku dan memejamkan mata hingga terasa sedikit lebih tenang. Kubuka mataku dan melihat sekelilingku dan menyadari kalau aku sedang berada di dalam penjara, dan aku kaget ketika melihat Karen sedang duduk di depanku.
 "Apa kau gila? Kau meracuni Bryan!" bentak Karen. "Aku tidak percaya kau meracuni orang yang begitu penting untuk kasus ini! Kau ta-"
 "Stop!" potongku. "Aku dijebak, oke?"
 "Lantas, kenapa kau berlari?"
 "Bajingan itu menipuku. Pertama, dia membuatku panik ketika dia berkata kalau dia telah meracuni Bryan dan beralasan bahwa dia berubah pikiran dan memberiku penawarnya. Kamu tentu saja tahu, ketika orang panik, mereka akan melakukan apapun untuk mengatasi rasa paniknya"
 "Tentu saja aku tahu itu. Tetapi tidak adakah sesuatu yang membuatmu curiga?" Sampai saat ini, Karen masih terlihat curiga padaku. Dan, nada bicaranya juga begitu sinis.
 "Dia adalah seorang jenius. Dia merapatkan klem infus sehingga membuat denyut jantung Bryan melemah dan membuatku yakin kalau Bryan memang telah diracuni. Dan tentu saja hal itu membuatku semakin panik dan langsung menuntikkan "penawar" itu ke tabung infus dan melonggarkan klemnya lima menit setelah aku menyuntikkan "penawar" itu karena aku juga baru menyadarinya" jelasku sambil mencengkram kepalaku karena menyadari betapa bodoh dan naifnya aku.
 "Maaf mengganggumu Nona Karen. Tetapi waktu untuk mengunjungi tuan Scott sudah habis" kata salah seorang polisi. "Tuan Scott, dulu aku sangat mengagumi-mu. Tetapi, aku tidak percaya bahwa kau telah membunuh seseorang yang tidak bersalah"
 "Maaf, tetapi itu semua adalah kecelakaan." bela Karen. "Kau akan mengetahuinya nanti"

Sudah lima jam aku duduk termenung di dalam penjara. "Bodoh! Bagaimana bisa aku tertipu dengan mudahnya?" gumamku sambil menghentakkan kedua tanganku di kursi lalu menyadari bahwa semua gumamanku tadi sia-sia. Aku menyandarkan kepalaku ke dinding. Mengingat kembali kejadian singkat di rumah sakit tadi. Dan itu mengingatkanku pada kertas yang diberikan si Psikopat. Segera aku ambil kertas itu di saku bajuku dan membacanya.

"BegitTu bodohnya kau bisa tEertipu dengan tipuanku. Mmungkin kaUu bukan detektiI-"

 Aku berhenti membaca surat itu. Aku pandangi beberapa kata di surat itu dan menemukan banyak kesalahan pengejaan. Banyak sekali kata-kata yang salah-satu hurufnya dibuat menjadi dua huruf. "Aneh. Apa maksud dari kertas ini?" gumamku. Aku lalu menerawang, mencoba memikirkan apa yang dipikirkan Psikopat itu saat menulis surat ini. Surat berukuran A4 dengan banyak tulisan yang salah hampir di setiap kalimat. Tiba-tiba aku mendapat sebuah ide.
 Aku ambil pena dari kantong kemejaku dan menuliskan huruf-huruf yang dilipatgandakan sehingga membuat sebuah kelimat;

"Temui aku di hutan Ravenwood pada tengah hari dua hari lagi"

 Aku tersenyum sinis sambil bergumam, "Kau memang licik" lalu melempar surat itu.

Bersambung


This Little Town.. Part 6


Setelah aku membaca surat itu, segera aku merogoh sakunya. Tapi sayang, Psikopat itu terlalu cerdas. Dia sudah mengambilnya. "Jelas, dia tidak ingin semua ini menjadi terlalu mudah" gumamku. Tak berapa lama kemudian, terdengar suara sirine ambulans dari kejauhan. Segera aku dan Karen segera menyuruh orang-orang untuk minggir dan memberi ruang untuk orang yg wajahnya tersiram air raksa ini. Ambulans berhenti tepat di hadapanku, setelah menjawab beberapa pertanyaan dari petugas ambulans, aku dan Karen bergegas pulang.

"Bagaimana dia bisa bergerak begitu cepat? Maksudku, mengambil dompetnya dan menyiramnya dengan air panas dengan sangat cepat! Bisakah kau mempercayainya?" tanyaku sambil beberapa kali memukul setir mobil. "Tenang, aku tahu kau sedang kesal. Tetapi tetaplah fokus, jangan terbawa emosi seperti ini. Itulah yg dia inginkan, membuatmu tenggelam dalam emosi dan disaat kau rentan, dia akan menjegalmu!" jelas Karen. Aku terdiam, Karen ada benarnya. Walaupun aku belum tahu apa motif sebenarnya dari Psikopat ini, tetapi tetap saja aku harus tenang dan mengendalikan emosi. Setelah percakapan tadi, keheningan melanda mobilku hingga akhirnya Karen meminta untuk menginap semalam di apartemenku. Aku mengangguk pelan dan tak berapa lama kemudian kami sampai di apartemenku.

Setelah memarkirkan mobil dan menuju kamarku, aku langsung mengambil berkas-berkas yg diberikan Psikopat itu. Tetapi Karen menahan tanganku dan memaksaku untuk istirahat. Dengan sedikit terpaksa, aku merebahkan tubuhku diatas kasur empukku dengan Karen di sebelahku. Mungkin aku memang sudah terlalu letih, karena tak sampai 5 menit, aku sudah tertidur pulas.

Ketika aku bangun, Karen sudah tidak ada di sisi kasurku. Dia hanya meninggalkan note di atas meja tempat aku menaruh jam wekerku.
Kupikir kau butuh sedikit istirahat. Jadi aku matikan alaramnya dan aku meminjam mobilmu untuk mengambil beberapa barang. Dan ya, aku juga membawa berkas-berkas dari psikopat itu. Aku hanya ingin kau beristirahat hari ini.

Peluk cium,
Karen

Aku tersenyum dan bergumam, "Dasar karen. Selalu saja seperti itu". Aku lalu bangun dan membuat segelas kopi susu dan meminumnya di atas balkon sambil memerhatikan kota. "Sudah lama aku tidak merasakan ketenangan ini" gumamku. Tetapi ketenangan itu tak berlangsung lama, karena tiba-tiba ponselku berdering. Ternyata yg menelponku adalah John, informanku. "Ya?" kataku membuka percakapan. "Scott! Cepat datang ke perumahan 'spring garden'!" jawabnya dengan nada sedikit panik yg lalu menutup teleponnya. Aku memutar mataku kesal karena seseorang mengganggu ketenanganku. Tapi ini adalah tugas, dan aku tak bisa mengabaikannya. Segera aku memakai pakaian kerjaku lalu memanggil taxi untuk pergi menuju rumah Karen.

Sesampainya di rumah Karen, aku melihat Karen yg kebetulan sedang mengunci pintu rumahnya. "Hey, kau mendapatkan kabar itu juga?" tanyaku sambil membayar ongkos taxi. "Ya, tentu saja" jawabnya sambil membuka pintu mobilku. "Mau ikut?" tanya Karen dengan nada sedikit menggoda. "Tentu saja" tanyaku sambil tertawa pelan.

"Kenapa hari ini jalanan harus tertutup oleh kabut?" tanya Karen kesal. Aku tertawa kecil, Karen sangat lucu dan menggemaskan saat sedang kesal. "Hey, apa yg kau ketawakan?" tanya Karen. "Ah, tidak" kataku sambil berdehem. Ya, jalanan saat ini sedang tertutup kabut yg cukup tebal dan mengesalkan. Kami terpaksa jalan sedikit lambat demi keselamatan kami. Tetapi pekerjaanku memaksaku untuk bergerak cepat. Dilema, tetapi keselamatanku harus diprioritaskan, siapa lagi yg akan menyelidiki kasus Psikopat ini kalau bukan aku?

30 menit kemudian kami akhirnya sampai di perumahan 'Spring Garden'. Kabut sudah mulai menipis, tetapi tetap menghalangi pengelihatan kami. Dan itu membuat kami kesulitan menemukan rumah korban. Untung John mau membantuku menemukan rumah korban melalui ponsel. Sekitar 10 menit lamanya kami mencari, akhirnya kami sampai juga di rumah korban yg didesain minimalis. Dengan warna-warna cerah seperti biru langit, hijau, putih, dan lain-lain dipadu dengan indahnya sehingga rumah ini terlihat sangat menarik.

"Hey, Scott! Kami sudah menunggumu" teriak John. "Ya, kabut menghalangi pandangan kami" jawabku dengan nada sedikit kesal. "Bisakah aku langsung memasuki rumah ini dan mengeceknya?" lanjutku. John dan beberapa polisi serentak menganggukkan kepalanya.

Aku dan Karen jalan beriringan memasuki rumah itu. Lalu kami mulai menelusuri ruangan demi ruangan di rumah itu. Rumah itu berantakan sekali, bercak darah yg tampak menghiasi dinding, pecahan kaca serta bingkai-bingkai foto yg sudah patah tampak seolah-olah menghiasi ruangan. Aneh, tidak ada satupun mayat yg tergeletak di rumah itu. Sentak kami menjadi bingung dan terdiam. Ditengah-tengah keheningan kami, terdengar suara oven yg mengagetkan kami. Segera aku dan Karen berlari menuju dapur dan membuka oven.

Di dalam oven itu tersimpan sesuatu yg bundar terbungkus kertas nylon dan terletak diatas piring. Di ujung piring tertera tulisan yg sepertinya ditulis menggunakan spidol permanen;
Nikmati bersama makanan yg sudah ku siapkan di meja makan
Aku dan karen langsung pandang-pandangan. "Bagaimana kalau kita letakkan saja benda ini ke meja makan?" tanya Karen. Aku mengangguk pelan lalu beranjak menuju ruang makan. Aku buka tudung saji yg berada di meja makan dan aku sangat terkejut ketika melihat potongan-potongan tubuh yg sudah sedikit gosong karena sepertinya sudah digoreng sebelumnya. "Jangan-jangan ini adalah.." kata Karen sambil memuka bungkusan nylon. Dan dugaan kami hampir tepat. Itu memang kepala manusia yg dipanggang. Tetapi sebenarnya itu adalah 2 kepala manusia yg dipanggang. Hanya saja kepala itu dibelah 2 terlebih dahulu dan disatukan bagian wajahnya lalu dibungku dengan nylon lalu dipanggang.

"John! Cepat kemari dan bawa polisi-polisi itu!" teriakku dari dalam rumah. Tak lama kemudian, John dan polisi datang menuju kami dan segera menginvestagasi potongan mayat itu. "John, bisakah kau mencari informasi tentang keluarga ini?" tanyaku. "wajah mereka agak sedikit sulit untuk dikenali tapi, aku akan berusaha" jawabnya sambil mengangkat pundaknya. Lalu aku menjabat tangan John. Ketika aku menjabat tangannya, tak sengaja aku menghadapkan wajahku ke jendela dan melihat seseorang berdiri di pinggir pagar memerhatikan kami.

Aku penasaran, dengan buru-buru aku keluar rumah dan mengejar pria itu. Tetapi dia sudah tidak ada. Aku berlari menuju tengah jalan daerah kompleks itu. Tetapi kabut masih menutupi pandanganku. Tiba-tiba seseorang menepuk pundakku sambil mengatakan, "Hey, ada apa denganmu?" yg lalu secara reflek aku arahkan pistolku padanya. "Whoa, hati-hati dengan itu" kata Karen. "Maaf. Aku hanya.. Melihat, seseorang" kataku. Karen mengernyitkan dahinya. "Lupakan itu, sekarang fokus dengan kasus yg terjadi akhir-akhir ini saja. Kau belum menyelesaikan kasus orang yg wajahnya rusak akibat air raksa, kan?" tanya Karen.

"Aku belum menyelesaikan kasus itu. Tetapi kasus ini juga harus aku selesaikan. Tetapi, pertanyaannya. Orang-orang ini berasal dari keluarga yg berbeda, atau.. Mereka adalah satu keluarga?"

Bersambung

This Little Town.. Part 5


Setelah aku membaca surat itu, segera aku merogoh sakunya. Tapi sayang, Psikopat itu terlalu cerdas. Dia sudah mengambilnya. "Jelas, dia tidak ingin semua ini menjadi terlalu mudah" gumamku. Tak berapa lama kemudian, terdengar suara sirine ambulans dari kejauhan. Segera aku dan Karen segera menyuruh orang-orang untuk minggir dan memberi ruang untuk orang yg wajahnya tersiram air raksa ini. Ambulans berhenti tepat di hadapanku, setelah menjawab beberapa pertanyaan dari petugas ambulans, aku dan Karen bergegas pulang.

"Bagaimana dia bisa bergerak begitu cepat? Maksudku, mengambil dompetnya dan menyiramnya dengan air panas dengan sangat cepat! Bisakah kau mempercayainya?" tanyaku sambil beberapa kali memukul setir mobil. "Tenang, aku tahu kau sedang kesal. Tetapi tetaplah fokus, jangan terbawa emosi seperti ini. Itulah yg dia inginkan, membuatmu tenggelam dalam emosi dan disaat kau rentan, dia akan menjegalmu!" jelas Karen. Aku terdiam, Karen ada benarnya. Walaupun aku belum tahu apa motif sebenarnya dari Psikopat ini, tetapi tetap saja aku harus tenang dan mengendalikan emosi. Setelah percakapan tadi, keheningan melanda mobilku hingga akhirnya Karen meminta untuk menginap semalam di apartemenku. Aku mengangguk pelan dan tak berapa lama kemudian kami sampai di apartemenku.

Setelah memarkirkan mobil dan menuju kamarku, aku langsung mengambil berkas-berkas yg diberikan Psikopat itu. Tetapi Karen menahan tanganku dan memaksaku untuk istirahat. Dengan sedikit terpaksa, aku merebahkan tubuhku diatas kasur empukku dengan Karen di sebelahku. Mungkin aku memang sudah terlalu letih, karena tak sampai 5 menit, aku sudah tertidur pulas.

Ketika aku bangun, Karen sudah tidak ada di sisi kasurku. Dia hanya meninggalkan note di atas meja tempat aku menaruh jam wekerku.
Kupikir kau butuh sedikit istirahat. Jadi aku matikan alaramnya dan aku meminjam mobilmu untuk mengambil beberapa barang. Dan ya, aku juga membawa berkas-berkas dari psikopat itu. Aku hanya ingin kau beristirahat hari ini.

Peluk cium,
Karen

Aku tersenyum dan bergumam, "Dasar karen. Selalu saja seperti itu". Aku lalu bangun dan membuat segelas kopi susu dan meminumnya di atas balkon sambil memerhatikan kota. "Sudah lama aku tidak merasakan ketenangan ini" gumamku. Tetapi ketenangan itu tak berlangsung lama, karena tiba-tiba ponselku berdering. Ternyata yg menelponku adalah John, informanku. "Ya?" kataku membuka percakapan. "Scott! Cepat datang ke perumahan 'spring garden'!" jawabnya dengan nada sedikit panik yg lalu menutup teleponnya. Aku memutar mataku kesal karena seseorang mengganggu ketenanganku. Tapi ini adalah tugas, dan aku tak bisa mengabaikannya. Segera aku memakai pakaian kerjaku lalu memanggil taxi untuk pergi menuju rumah Karen.

Sesampainya di rumah Karen, aku melihat Karen yg kebetulan sedang mengunci pintu rumahnya. "Hey, kau mendapatkan kabar itu juga?" tanyaku sambil membayar ongkos taxi. "Ya, tentu saja" jawabnya sambil membuka pintu mobilku. "Mau ikut?" tanya Karen dengan nada sedikit menggoda. "Tentu saja" tanyaku sambil tertawa pelan.

"Kenapa hari ini jalanan harus tertutup oleh kabut?" tanya Karen kesal. Aku tertawa kecil, Karen sangat lucu dan menggemaskan saat sedang kesal. "Hey, apa yg kau ketawakan?" tanya Karen. "Ah, tidak" kataku sambil berdehem. Ya, jalanan saat ini sedang tertutup kabut yg cukup tebal dan mengesalkan. Kami terpaksa jalan sedikit lambat demi keselamatan kami. Tetapi pekerjaanku memaksaku untuk bergerak cepat. Dilema, tetapi keselamatanku harus diprioritaskan, siapa lagi yg akan menyelidiki kasus Psikopat ini kalau bukan aku?

30 menit kemudian kami akhirnya sampai di perumahan 'Spring Garden'. Kabut sudah mulai menipis, tetapi tetap menghalangi pengelihatan kami. Dan itu membuat kami kesulitan menemukan rumah korban. Untung John mau membantuku menemukan rumah korban melalui ponsel. Sekitar 10 menit lamanya kami mencari, akhirnya kami sampai juga di rumah korban yg didesain minimalis. Dengan warna-warna cerah seperti biru langit, hijau, putih, dan lain-lain dipadu dengan indahnya sehingga rumah ini terlihat sangat menarik.

"Hey, Scott! Kami sudah menunggumu" teriak John. "Ya, kabut menghalangi pandangan kami" jawabku dengan nada sedikit kesal. "Bisakah aku langsung memasuki rumah ini dan mengeceknya?" lanjutku. John dan beberapa polisi serentak menganggukkan kepalanya.

Aku dan Karen jalan beriringan memasuki rumah itu. Lalu kami mulai menelusuri ruangan demi ruangan di rumah itu. Rumah itu berantakan sekali, bercak darah yg tampak menghiasi dinding, pecahan kaca serta bingkai-bingkai foto yg sudah patah tampak seolah-olah menghiasi ruangan. Aneh, tidak ada satupun mayat yg tergeletak di rumah itu. Sentak kami menjadi bingung dan terdiam. Ditengah-tengah keheningan kami, terdengar suara oven yg mengagetkan kami. Segera aku dan Karen berlari menuju dapur dan membuka oven.

Di dalam oven itu tersimpan sesuatu yg bundar terbungkus kertas nylon dan terletak diatas piring. Di ujung piring tertera tulisan yg sepertinya ditulis menggunakan spidol permanen;
Nikmati bersama makanan yg sudah ku siapkan di meja makan
Aku dan karen langsung pandang-pandangan. "Bagaimana kalau kita letakkan saja benda ini ke meja makan?" tanya Karen. Aku mengangguk pelan lalu beranjak menuju ruang makan. Aku buka tudung saji yg berada di meja makan dan aku sangat terkejut ketika melihat potongan-potongan tubuh yg sudah sedikit gosong karena sepertinya sudah digoreng sebelumnya. "Jangan-jangan ini adalah.." kata Karen sambil memuka bungkusan nylon. Dan dugaan kami hampir tepat. Itu memang kepala manusia yg dipanggang. Tetapi sebenarnya itu adalah 2 kepala manusia yg dipanggang. Hanya saja kepala itu dibelah 2 terlebih dahulu dan disatukan bagian wajahnya lalu dibungku dengan nylon lalu dipanggang.

"John! Cepat kemari dan bawa polisi-polisi itu!" teriakku dari dalam rumah. Tak lama kemudian, John dan polisi datang menuju kami dan segera menginvestagasi potongan mayat itu. "John, bisakah kau mencari informasi tentang keluarga ini?" tanyaku. "wajah mereka agak sedikit sulit untuk dikenali tapi, aku akan berusaha" jawabnya sambil mengangkat pundaknya. Lalu aku menjabat tangan John. Ketika aku menjabat tangannya, tak sengaja aku menghadapkan wajahku ke jendela dan melihat seseorang berdiri di pinggir pagar memerhatikan kami.

Aku penasaran, dengan buru-buru aku keluar rumah dan mengejar pria itu. Tetapi dia sudah tidak ada. Aku berlari menuju tengah jalan daerah kompleks itu. Tetapi kabut masih menutupi pandanganku. Tiba-tiba seseorang menepuk pundakku sambil mengatakan, "Hey, ada apa denganmu?" yg lalu secara reflek aku arahkan pistolku padanya. "Whoa, hati-hati dengan itu" kata Karen. "Maaf. Aku hanya.. Melihat, seseorang" kataku. Karen mengernyitkan dahinya. "Lupakan itu, sekarang fokus dengan kasus yg terjadi akhir-akhir ini saja. Kau belum menyelesaikan kasus orang yg wajahnya rusak akibat air raksa, kan?" tanya Karen.

"Aku belum menyelesaikan kasus itu. Tetapi kasus ini juga harus aku selesaikan. Tetapi, pertanyaannya. Orang-orang ini berasal dari keluarga yg berbeda, atau.. Mereka adalah satu keluarga?"

Bersambung

This Little Town.. Part 4


"A.. Alexander Black?" tanyaku terbata-bata. "Ya, perkenalkan" jawabnya sambil tertawa aneh seperti tokoh joker dalam film Batman. "Apa yg kau mau? Dan apa motifmu membunuh mereka?" tanyaku sebisa mungkin untuk tenang. "Aku hanya seseorang yg menginginkan kesenangan dan tantangan. Motifku? Hmmm, balas dendam?" jawabnya dengan cara yg sedikit aneh. Setiap kali ada jeda di antara perkataannya, dia menjilat bibirnya. "Balas dendam? Untuk apa?" tanyaku. Dia tidak menjawabnya. Tetapi dia memberiku map berwarna hijau transparan dan ada beberapa kertas di dalamnya. "Baiklah, kau tidak mau menjawabnya. Tetapi apa hubungannya denganku? Kau tau, semua pesan yg kau tujukan" lanjutku. "Kenapa kau bertanya? Kau detektifnya. Kau tokoh utamanya! Apa kau akan mengakhiri semua permainan ini sekarang?" jawabnya sambil mengulangi tawa aneh dan jilatan bibirnya setiap ada jeda. "Ngomong-ngomong, kalian sudah sampai tujuan kalian" lanjutnya. "Hey, ini rumahku. Bagaimana kau tahu rumahku? Aku bahkan tidak memberitahu tujuanku!" bentak karen. Namun Psikopat itu menjawabnya dengan tawa anehnya sambil mengangkat tangannya memberi isyarat pada kami untuk segera keluar. Aku lalu keluar dari taxi itu dan membiarkan Psikopat itu pergi. Lalu aku memperhatikan Karen yg sedang memperhatikanku dengan wajah penuh kebingungan.


"Kenapa kau tidak menangkapnya? Dia kriminal!" tanya Karen. "Tidak bisa, kita tidak punya bukti dan kita bahkan tidak tau motifnya. Kenapa dia mau balas dendam pada orang-orang itu. Tanpa adanya bukti dan motif yg kuat, pengacara sehandal apapun tidak bisa membantu kita" jawabku. "Tetapi dia memberimu kesempatan!" bentaknya. "Tidak bisa, mengambil kesempatan itu sama saja dengan aku menyerah. Percayalah, reputasiku akan turun begitu aku mengambil kesempatan itu. Dia bisa menjadi apa saja yg dia mau. Dia sangat licik" jelasku panjang lebar. Karen menundukkan kepalanya, lalu mengangkatnya lagi dan berkata, "Kau ada benarnya juga" sambil mengambil satu langkah mendekat dan memegang tanganku. "Bagaimana kalau kita beristirahat sebentar dan mempelajari berkas-berkas yg tadi dia kasih?" tawarnya. Aku mengangguk dan beranjak kedalam rumah Karen.


Aku duduk di atas sofa Karen yg berwarna jingga. Ya, Karen menyukai warna-warna pastel. Furnitur berwarna Coklat terang, jingga dan oranye banyak dijumpai di rumahnya. Tak heran jika rumah Karen terkesan terang. "Kau mau minum apa?" tanya Karen. "Cappuchino saja" jawabku sambil memperhatikan rangkaian bunga palsu di atas buffet Karen. Tak lama kemudian, Karen pun datang membawakan segelas teh dan secangkir cappuchino dan meletakkannya di atas meja di ruang tamu Karen. Aku pun kembali duduk di atas sofa jingga itu dan meneguk cappuchino yg dibuat Karen. Setelah itu, aku dan Karen berbincang-bincang dan beristirahat.


Malamnya, aku yg sedang menonton sebuah film bersama Karen di kamarnya, beranjak dari kamarnya dan mengambil map yg diberikan Psikopat gila tadi. "Bagaimana kalau kita kembali bekerja?" tanyaku sambil melambaikan map itu. Karen tersenyum lalu mengajakku untuk pergi ke ruang kerjanya. Aku meletakkan map itu di atas meja kerja Karen, membuka map itu, mempelajari berkas-berkas yg ada di map itu bersama Karen dan menuliskan kesimpulannya di note yg selalu aku bawa.
Bekerja di salah satu restauran seafood bintang 5. Terjadi tuduhan bahwa Alexander meracuni pelanggannya. Lalu dia dimasukkan ke penjara selama 8 tahun. Dan setelah keluar, dia dikucilkan dan menjadi stres berat. Diduga menjadi gila karena mengalami tekanan sosial dan overdosis obat.
"Hey, menurutmu, apa maksudnya memberikan peta ini?" tanya Karen sambil menggelar peta itu. Di peta tersebut, ada beberapa lokasi yg dilingkari. Sebagian dilingkari dengan tinda merah, dan yg lainnya dengan tinta hitam. "Perhatikan, lokasi yg dilingkari dengan tinta merah adalah lokasi orang-orang yg sudah dia bunuh" kataku. "Dengan kata lain, lokasi dengan tinta hitam adalah target selanjutnya" lanjut Karen. "Betul, tetapi masalahnya.. Kita tidak tahu dia akan memulai dari mana" kataku. "Dan waktunya" tambah Karen. "Bagaimana kalau kita istirahat sejenak? Mungkin kita akan menemukan petunjuk lainnya setelah pikiran kita sedikit lebih jernih" tawarku. Karen mengangguk pelan lalu menjulurkan tangannya. Aku genggam tangannya dan lalu kami keluar untuk membeli camilan.

Malam itu kami berjalan-jalan di tengah kota dan menemukan cafe yg terlihat nyaman. Kami lalu memutuskan untuk duduk dan makan di sana. Setelah memesan beberapa makanan pada pelayan, kami berbincang-bincang sambil menunggu makanan kami datang. Karena kami mengambil meja di luar cafe, kami pun menjadi lebih rileks untuk berbicara. Mungkin karena aura-aura santai di daerah luar. Namun, listrik mendadak menjadi tidak stabil lagi, lampu kota kedap-kedip membuatku pusing. Tetapi entah kenapa seperti ada sesuatu yg menyuruhku untuk fokus memperhatikan orang-orang yg lewat di depanku. Dan di sana ada seseorang yg memakai jaket tebal, menutup mukanya dengan hood jaket itu. Aku sedikit curiga dengan orang itu dan memutuskan untuk memperhatikan apa yg akan dilakukannya. Lampu jalan masih berkedip-kedip. Dan orang itu masih berjalan dengan santai. Lalu tiba-tiba lampu mati total. Dan kira-kira 15 detik kemudian, listrik kembali hidup dan disusul dengan teriakan seseorang.

Aku segera berlari menuju orang yg berteriak. Aku lihat dia sedang berguling-guling sambil memegang wajahnya yg berasap. "Wajahnya terbakar, tapi tidak ada api. Tidak ada bau gas" kataku sedang menganalisa. Lalu aku melihat genangan air tak jauh dari tempatnya berguling, aku ambil sekeping uang logam di kantung jaketku dan meletakkannya di atas genangan air itu. "Airnya bereaksi, ini adalah air raksa! Cepat panggil ambulans!" teriakku. Aku segera mendekati orang yg berguling-guling itu dan menahannya. "Hey, bertahanlah! Ambulans akan datang" kataku berusaha menenangkan. Aku perhatikan orang ini, ada sepucuk surat di kantong mantelnya. Aku ambil surat itu dan kubaca surat itu:
Tebak siapa aku!

Bersambung

This Little Town.. Part 3


Siang itu, aku dan Karen langsung menuju ke tempat di mana orang-orang hilang dan tempat di mana orang-orang dibunuh. Dari semua tempat yg kami kunjungi, ada satu kejanggalan yg tidak pernah kutemui sebelumnya. Psikopat ini bermain dengan sangat bersih. Tak ada bukti dan tak ada sesuatu yg bisa dijadikan bukti. Jelas, jarang orang-orang bisa melakukan kejahatan sebersih ini. "Ayolah Scott, masa tidak ada barang yg mencurigakan sama sekali?" tanya Karen. "Tidak. Tidak ada sama sekali. Sidik jari atau apapun! Semuanya tidak dapat kutemukan!" jawabku sambil menggebrak meja. Tiba-tiba, aku mendapatkan sebuah ide. "Bagaimana kalau ini semua membentuk sebuah pola?" kataku. "Pola? Maksudmu?" tanya Karen. Aku lalu menyuruhnya diam dan menyuruhnya untuk langsung menuju kantor.


Sesampainya di kantor, aku mengambil sebuah peta kota dan menggelarnya di atas meja. Lalu aku menandai setiap tempat dimana orang-orang itu mati dan hilang. Dan lalu aku menghubungkan tiap tanda yg aku buat sehingga membentuk lambang seperti ini:/-\Aku mengernyitkan dahi tanda tidak mengerti. Aku lalu duduk di atas sebuah kursi sambil memikirkan maksud dari lambang itu. "Lalu, apa?" tanya Karen. Aku diam tidak menjawabnya. Sepertinya ada sesuatu yg janggal dari lambang itu. Seperti sebuah lambang yg belum sempurna. Sentak terpikir sesuatu olehku, "Alexander Black, Alexander... OH YA!" jeritku lalu menambungkan sebuah sudut di lambang itu sehingga membentuk huruf 'A' sepurna. "Tunggu. Bukankah itu gudang tua yg sudah lama tidak terpakai?" kata Karen sambil menunjuk ujung dari huruf 'A' itu. "Ya, dan itu adalah tujuan kita besok" kataku yg baru sadar ternyata sudah larut.  


Keesokan harinya, aku sengaja bangun cepat karena aku harus menjemput Karen di rumahnya. "Hey, apakah kau lama menunggu?" tanya Karen sambil menggendong anjingnya yg bernama Jack. "Tidak, baru saja sampai" jawabku dengan semangat. Lalu kami pergi menuju gudang tua itu.


Gudang tua yg akan kami kunjungi sebenarnya adalah gudang tak terpakai yg sudah terbengkalai bertahun-tahun lalu. Kebetulan juga letaknya di ujung kota. 


Sesampainya di gudang itu, Jack langsung menggonggong seperti seekor anjing yg sedang mencium sesuatu. "Heeey, tenang Jack." kata Karen sambil mengikatkan anjingnya di sebuah pasak yg entah digunakan sebagai apa. Setelah Karen mengikat anjingnya, kami ber-2 memasuki gudang itu. Aneh, tidak ada apa-apa selain gudang tua yg kosong tak berisi dan berdebu. "Tidak! Ini tidak mungkin! Pasti ada yg salah" kataku panik. "Tenang Scott. Psikopat itu pasti menyembunyikan sesuatu di sini" kata Karen sambil pergi menduduki sebuah kursi yg kebetulan berada di tengah gudang. Aku lalu keluar dari gudang itu untuk menenangkan diri. "Scot! Sini, cepat!" teriak Karen mengagetkanku. Buru-buru aku memasuki gudang dan melihat Karen memberi isyarat untuk segera menghampirinya. "Lihat, lihat dinding sebelah sana. Seperti ada sesuatu" katanya. Aku mengernyitkan dahiku dan memfokuskan pandanganku. Dan benar saja, samar-samar aku melihat tulisan yg sepertinya itu adalah petunjuk selanjutnya. Aku langsung menuju mobilku dan membuka bagasinya untuk mengambil alat pemancar sinar UV untuk melihat tulisan itu. Sesampainya di gudang, aku langsung menyinari dinding itu dan membaca pesan yg tertera di dinding itu.Tolong!! Di bawah sini!"Karen! Bawa anjingmu ke sini!" perintahku. Karen berlari keluar gudang dan beberapa saat kemudian, dia memasuki gudang sambil membawa anjingnya. Karen melepaskan pengait di kalung leher anjingnya sambil berkata, "Ayo Jack, bantu kami" yg lalu disusul dengan gonggongan Jack. Anjing itu berlari mengelilingi gudang lalu pergi ke sebuah titik dan lalu menggalinya. Setelah beberapa menit menunggu, Jack menggonggong seolah-olah memberi isyarat padaku untuk melihat apa yg dia temukan. Tentu saja aku langsung melihat lubang yg dia gali. 


Betapa kagetnya aku melihat bagian tubuh manusia di lubang galian yg dibuat oleh Jack. Aku lebarkan lubang itu dengan tanganku dan melihat badan lain menindih badan orang yg pertama aku temukan. "Ada tubuh lain, tempat ini pasti digunakan untuk menyimpan mayat-mayat tersebut" kataku. "Kalau begini, sepertinya ada petunjuk di antara mayat-mayat yg dikuburkan di sini. Tetapi ini akan memakan waktu yg lama" lanjutku. "Tidak" kata Karen sambil menunjuk tanah yg disinari dengan cahaya dari lubang yg ada di atap. "Kau yakin? Apa yg membuatmu yakin?" tanyaku. "Entahlah, feelingku berkata begitu" jawabnya. Aku ambil sekop dari mobilku dan menggali tanah yg ditunjuk Karen tadi. Setelah beberapa saat mencangkul, sekopku menghantam sesuatu. "Hmm, apa ini?" kataku sambil mengusapkan tanganku ke benda itu untuk mengusir debu. "Gali lagi, sepertinya itu adalah peti mati" kata Karen, Aku lalu membuat lubang yg cukup luas untuk mengangkat peti itu dan lalu mengangkat peti itu dan membukanya. Ketika aku membuka peti itu, bau yg sangat menyengat langsung menusuk hidungku. Aku reflek menutup hidungku dan mataku. "Bau sekali" gumamku dan aku juga melihat Karen yg menjauh dari peti itu. Lalu aku hadapkan pandanganku kembai ke peti itu dan melihat organ dalam manusia. Banyak sekali dan ditengah organ itu ada usus manusia yg disusun sehingga membentuk kata:
Kau belum menemukanku 
di sebelah usus tersebut ada 2 bola mata menghadap ke langit-langit gudang. Aku curiga dengan ke-2 bola mata itu, aku lalu mengikuti arah ke-2 bola mata tersebut menghadap dan sangat terkejut ketika melihat ada bom di atas sana. "KAREN! MENJAUH DARI GUDANG!!" teriakku sambi berlari secepat yg aku bisa. "DUAAAR!!" suara bom memekakkan telingaku dan dengan reflek aku langsung tiarap berharap tidak terkena puing-puing gudang yg beterbangan.

"Scott! Bangun!" teriak Karen. Aku lalu mengangkat kepalaku dan melihat ke arah gudang yg hancur itu. "Cerdik sekali. Dia sengaja menimbun mayat-mayat itu dengan cara meruntuhkan bangunan sehingga polisi lain tidak bisa mencari bukti" kataku. "Maksudmu?" tanya Karen. "Dengan kata lain, aku harus memecahkan kasus ini sendiri" jawabku.

Aku,Karen dan Jack lalu berjalan beberapa blok lalu memanggil taxi karena mobilku sudah rusak terkena radiasi dari bom yg diletakkan Psikopat itu. "Mau kemana?" tanya supir taxi itu. "jalan saja dulu, nanti aku kasih tau alamatnya" jawab Karen. Lalu taxipun berjalan. "Bagaimana? Apakah hari kalian seru? Maksudku, bermain-main di gudang lalu hampir mati dengan bom" kata supir taxi itu. Sentak aku dan Karen terkejut mendengarnya. "Bagaimana kau bisa tahu?" tanyaku. Supir itupun lalu menghadapkan wajahnya padaku. Dan aku pun sangat terkejut dan baru menyadari bahwa ternyata supir itu adalah Alexander Black. Si psikopat gila.

Bersambung

This Little Town.. Part 2


Aku pulang ke apartemenku dan meneliti berkas psikopat itu. Aku masih tidak mengerti, pihak rumah sakit jiwa itu tidak menulis data ini dengan lengkap. "Hey, jangan hanya bergantung pada kasus Alexander black itu saja. Ingat, masih ada beberapa keluarga yg meninggal dan yg hilang. Sekarang pilih, mana yg akan kamu kerjakan dan yg mana yg akan kamu berikan pada orang lain?" Karen mengingakanku. "Aku tidak tahu" jawabku singkat. "Oke, mungkin kamu perlu waktu" katanya sambil mengelus rambutku dan lalu keluar dari apartemenku.

Waktu sudah menunjukkan jam 10 tepat dan tiba-tiba aku merasa lapar. Berhubung besok aku libur, aku memutuskan untuk jalan-jalan mencari makan. Tak lupa aku menghubungi Karen untuk mengajaknya makan.
Hey, tiba-tiba aku merasa lapar. Mungkin kamu mau menemaniku makan? Aku menunggumu di restoran 'De royale'
Lalu aku menekan tombol 'kirim' lalu menaruh ponsel-ku di atas sofa empuk hitamku dan bersiap-siap.

Aku sudah siap untuk berangkat. Aku ambil ponselku dan melihat pesan balasan dari karen. "Hmm? Tidak dibalas? Ah, mungkin sudah tidur" gumamku dan lalu berlalu menuju restoran 'De Royale'. Ketika aku sampai, aku melihat wanita cantik menggunakan dress hitam dengan sedikit bordiran dan berambut coklat tergerai dengan sempurna melambai ke arahku, "Scott! Sinii" kata wanita itu. Dengan sedikit ragu aku menuju ke meja itu dan duduk di sana. "Tunggu, Karen? Takku sangka kamu cantik sekali hari ini" kataku setengah terkejut. Dia tertawa kecil sambil menepuk pundakku. Malam itu, kami berbicara tentang hal-hal ringan dan sebisa mungkin melupakan kerjaan kami.

Tak terasa makanan kami sudah habis. Aku memanggil pelayan untuk membayar makanan kami. Ketika pelayan itu memandangiku dengan senyuman sinis, aku terkejut hingga mukaku terlihat pucat dan menurunkan tanganku. "Ada apa? Apakah ada yg aneh?" tanya Karen padaku. Aku mengambil sebuah foto yg kusimpan di saku celanaku dan memperlihatkan foto itu padanya, "Lihat pelayan itu. Matanya merah, brewok tipis berwarna sedikit kemerahan dan hidungnya yg bengkok karena sebuah kecelakaan mobil?" kataku. "Iya aku meli.. Tunggu, darimana kamu tahu itu bekas kecelakaan?" tanyanya. "Karena orang itu adalah psikopat gila yg hilang" jelasku dengan yakin sambil memperlihatkan foto psikopat yg dari tadi aku simpan di kantung celanaku. "Iya, itu memang dia" katanya singkat. Aku lalu memperhatikan setiap gerak-geriknya. Dia memegang nampan yg di atasnya terletak makanan, pisau dan garpu dan dia sedang menuju ke salah seorang pelanggan. Dia menatap pelanggan itu dengan tajam dan berjalan perlahan ke belakang pelanggan itu. Perasaanku tidak enak, aku lalu berdiri dan berjalan untuk meyakinkan kalau dia tidak akan berbuat hal-hal yg membahayakan. Tetapi niatan itu dirusak dengan matinya listrik satu kota. Setiap orang di restauran itu mengeluh. Tetapi diantara suara orang mengeluh itu, ada satu suara teriakan, "AAAAAH!!" yg tentu saja mengagetkanku. Aku lekas mengambil senter mini yg selalu aku simpan di kantung bajuku dan berlari ke arah teriakan itu. Dan di sana aku melihat seorang ibu yg meninggal karena urat lehernya yg sobek dan di depannya ada seorang pria (yg sepertinya itu adalah suaminya) yg kepalanya sudah tertancap sebilah pisau dan sebuah garou yg menancap di lehernya. Listrik perlahan-lahan hidup ketika aku mematikan senter miniku. 
Lalu tanpa pikir panjang, aku berlari ke luar restauran dan mencari psikopat itu. Aku lalu melihat psikopat itu sedang melihatku dengan tajam di antara kerumunan orang yg berjalan sambil mengurusi urusannya sendiri. Dengan cepat aku berjalan cepat kearahnya. Tetapi orang-orang ini seperti menghalangiku hingga akhirnya ketika aku lihat kembali keberadaannya, dia sudah menghilang. Lalu aku melihat sekelilingku, barangkali dia belum jauh. Tetapi usahaku sa-sia saja karena dia sudah tak tampak lagi. 'Tiiin!Tiiin' suara klakson mobil mengalihkan perhatianku. "Ayo, kuantar kamu pulang" ajak Karen. Tetapi aku menolaknya karena aku harus menginvestigasi korban di restauran tadi.

"Aku tidak percaya aku kehilangannya" gerutuku ketika berjalan menuju restauran itu. Ketika aku sampai di restauran 'De Royale' aku langsung menembus kerumunan yg mengerumuni korban. Aku melihat dan mencari setiap barang bukti yg bisa aku dapat. Tetapi aneh, tidak ada barang bukti yg bisa aku dapatkan. Kecuali satu surat yg aku temukan di atas meja. Surat itu ditulis dengan darah dan bertuliskan:
Temukan aku, detektif

Aku melipat kertas itu lalu memanggil pihak berwajib untuk mengurus mayat itu dan akhirnya pulang. Ketika sampai di apartemen, aku langsung tidur karena kecapean.

Bunyi alarm membangunkanku, aku langsung bangun dan mencuci muka lalu mengambil koran yg biasanya ditaruh housekeeping di depan pintuku. Ketika aku membuka pintu, aku melihat Karen yg kebetulan sedang mengambil koran. "Oh, hey Scott. Kebetulan sekali. Nih korannya" katanya sambil menyodorkan koran. Belum sempat aku menjawab, dia tiba-tiba melanjutkan, "Hey, bagaimana? Apa kamu sudah menentukan kasus mana yg akan kamu selesaikan?" katanya tak sabaran. Lalu aku menjawab, "Tunggu, baru saja terpikir olehku. Bagaimana kalau sebenarnya orang-orang ini memiliki hubungan dengan psikopat?". "Maksudmu?" tanya Karen. "Coba saja, kenapa orang-orang ini mati dan hilang saat listrik padam? Memang mungkin saja semua orang jahat akan berpikiran begitu. Tapi tidak ada satupun barang-barang mereka yg hilang. Bahkan dompet yg jelas-jelas berada di kantung korban saja tidak diambil. Penjahat bodoh macam apa yg meninggalkan barang-barang berharga korbannya? Lalu, ketika di restauran kemarin. Psikopat itu berjalan perlahan menuju korban seakan-akan dia sebenarnya menunggu listrik untuk padam dan dia akan beraksi saat itu. Dan pembunuhan itu dilakukannya dengan cepat. Bahkan dia sempat menulis surat dengan darah mereka (sambil menyodorkan surat itu). Lalu dari semua yg kubcarakan tadi, bagaimana kalau setiap korban yg menginggal kemarin-kemarin, adalah korban dar psikopat itu?" jelasku panjang lebar. Karen lalu mengangguk pelan dan berkata, "Mungkin saja. Bagaimana kalau kita meuju tempat kejadian?" ajaknya. Akupun menyanggupinya.

Bersambung

This Little Town.. Part 1


Namaku Scott. Umur 35 tahun, tidak punya istri. Aku mempunyai kulit yg sedikit coklat karena pekerjaanku sebagai detektif menuntutku untuk terus berjalan di teriknya matahari. Banyak wanita yg menyukai rambutku yg dipotong cepak dan mataku yg berwarna hijau. Aku juga termasuk kategori workaholic. Mungkin itu salah satu alasan mengapa aku belum punya istri. 

Malam itu, aku pulang ke apartemenku yg berada di lantai 12 dan menyeduh segelas kopi. Setelah itu duduk di sebuah sofa empuk berwarna hitam dan melihat sekeliling. Ruangan yg diberi permainan cat hitam dan putih, beberapa sofa dengan warna abu-abu dan hitam dan beberapa furnitur yg ber-nuansa antik selalu membuatku tenang. Entah kenapa, tetapi aku suka melihat ruang apartemenku sendiri.

Setelah sedikit menjernihkan pikiran, aku beranjak ke tempat tidur, mengganti pakaian dan tidur. Tepat jam 07.00 aku terbangun karena mendengar seseorang mengetuk pintuku. Setelah cuci muka, aku membukakan pintu dan mendapati Karen, asistenku yg setia. Karen ini orang yg sangat cantik dan baik. Rambutnya yg selalu dikucir kuda dan mukanya yg cantik merupakan daya tarik tersendiri untukku.

"Kasus baruuu" katanya sambil menyodorkan berkas dengan nama "Marius pontmercy" tertera di pinggiran berkas. "Orang dari Perancis?" tanyaku. "Iya, kasus pembunuhan" jawab Karen. Aku mengambil kertas itu dan membacanya. Setelah membaca berkas itu dan mengambil beberapa informasi yg diberitahu Karen, aku beranjak mandi dan berganti dengan jas. "Karen, kau mau ikut atau tidak?" tanyaku. "Tentu saja, pakai mobilku saja"

Setelah sampai di tempat kejadian dan mengambil beberapa informasi, aku mendapati beberapa tersangka. Tapi tentu saja aku tidak bisa langsung menuduh mereka, aku harus menelitinya lebih dalam lagi. Alhasil aku dan Karen kembali ke kantor dan melakukan sedikit diskusi. Keesokan harinya aku melakukan sedikit ekspedisi dan memata-matai beberapa tersangka. Lalu hari-hari selanjutnya aku lanjutkan dengan meng-interogasi mereka, mengambil beberapa bukti dan akhirnya aku mendapatkan satu tersangka. Keesokan harinya aku menginterogasinya dan membawanya ke persidangan dan menyelesaikannya saat itu juga. Itulah pekerjaanku selama 10 tahun ini. Walaupun terlihat sulit, tapi jujur saja. AKu menikmati pekerjaan ini.

Biasanya, setelah aku menyelesaikan satu kasus, aku dan Karen akan pergi ke apartemenku untuk merayakannya. Dan itulah yg kulakukan malam ini. Aku merayakannya dengan meminum sebotol wine. Kami bercerita banyak hal malam itu. Ditengah-tengah pembicaraan kami, entah kenapa tiba-tiba suasana hening. Kami sudah tidak punya topik lagi. Tetapi entah kenapa malam ini dia terlihat lebih menawan dari biasanya. Aku tidak bisa berhenti menatapnya. Dan sepertinya dia juga memperhatikanku dari tadi. Aku memajukan wajahku berniat untuk menciumnya. Karen sepertinya menangkap sinyal dariku, dia juga memajukan wajahnya. Tetapi tiba-tiba apartemenku mati lampu dan memecah keheningan. "Aaargh! Sepertinya sekringnya turun" kataku. Lalu aku lanjutkan lagi, "Biar aku periksa". "Tunggu, kenapa di luar terlihat gelap juga?" tanya Karen. Secara reflek aku melihat ke luar jendela dan memang iya, di luar sangat gelap. Hanya cahaya bulan yg menyinari kota.

Aku mendapat sms dari temanku. Katanya terjadi kegagalan listrik dan untuk beberapa hari, listrik di kota ini akan tidak stabil. Aku mengeluh dan menggunakan hp-ku untuk menerangi jalan menuju sofa tempat dimana Karen duduk. Aku lalu duduk di sebelahnya dan sibuk mengeluhi apa yg barusan terjadi. Karen juga mengeluhi hal yg sama. Selama beberapa jam, kami sibuk saja mengeluh tentang kegagalan listrik ini. Lalu tanpa sadar, aku dan karen tertidur kecapaian.

Paginya aku terbangun dan mendapatkan Karen sedang memasakkan panekuk untukku. Aku duduk di meja makan dan menunggu Karen untuk duduk supaya kami bisa makan bersama. "Sarapan dataaang" katanya dengan nada periangnya yg khas. "Kamu belum pernah makan masakankan? Tadi pagi-pagi sekali aku terbangun dan merasa lapar. Jadi aku menuju dapurmu yg ngomong-ngomong isinya lengkap juga ya, lalu aku membuat panekuk karena aku kurang suka panekuk instan yg biasa orang-orang beli" lanjutnya. Aku hanya menjawab kalau itu enak dan terus memakannya. Ketika aku mengambil beberapa panekuk untuk ke-2 kalinya, aku mendapat sms yg bertuliskan:
"Scott, cepat ke kantor. Ada kasus pembunuhan. Dan yg dibunuh itu sekeluarga."
Aku mempercepat makanku dan beranjak mandi dan besiap-siap. Aku dan Karen berpisah di parkiran mobil. Sebenarnya aku ingin Karen ikut denganku, tetapi dia harus mandi dan bersiap-siap dulu di rumahnya.

Sesampainya di kantor, temanku memberiku berkas dan data-data keluarga yg terbunuh. Belum selesai aku membaca data-data itu, Karen datang dan membawa berkas lain yg katanya itu adalah berkas beberapa orang yg hilang. Aku membawa berkas itu dan mengajak Karen ke ruanganku untuk membantuku mengambil informasi dari data-data yg menumpuk itu. Namun tiba-tiba boss menelponku dan menyuruhku untuk pergi ke rumah sakit jiwa segera. Aku langsung merapikan berkas-berkas itu dan pergi menuju mobilku bersama Karen.

Sesampainya di rumah sakit jiwa, Bossku membawaku ke sebuah kamar yg pintunya sedikit rusak. Aku memeriksa pintu itu. Dan mendapati bekas dobralan pintu dan gagang pintu yg sedikit rusak. Aku menyimpulkan bahwa orang ini merusak lubang kunci pintu itu dan mendobraknya beberapa kali. Cukup cerdas untuk orang yg mentalnya terganggu.

"Dulu tempat ini didiami oleh siapa?" tanyaku ke kepala rumah sakit. Dia menjawabnya dengan nada cemas,"Seorang psikopat yg mentalnya terganggu". Aku terbelalak kaget, "Tunggu, apakah pihak rumah sakit jiwa ini tidak memasanginya jaket khusus supaya dia tidak bisa kabur?" tanyaku. Kepala rumah sakit tidak menjawab. "Kami memasangnya. Tetapi entah bagaimana caranya dia bisa lepas dari jaket itu" kata salah seorang pekerja rumah sakit jiwa itu. "Scott! Coba lihat ini" teriak Karen. Aku berjalan ke tempatnya berada dan melihat pecahan kaca dan bercak darah di beberapa beling tersebut. Tak salah lagi, dia memecahkan kaca yg berada tak jauh di atas kasurnya dan berusaha sekuat tenaga untuk menyobeknya dengan itu. Dan di bawah kolong tempat tidur, aku melihat baju pengekang yg digunakan psikopat itu.

"Pak, ini berkas yg bapak suruh" kata seorang suster yg datang secara tiba-tiba. Kepala rumah sakit jiwa itu memberikan berkas itu padaku dan aku mengambil bebepara point penting dari berkas itu. Dan menulisnya di note yg aku bawa:

Alexander Black. Seorang psikopat gila yg suka membunuh dan menyiksa korbannya dengan sadis. Sangat pandai bersembunyi dan jelas, orang yg sangat berbahaya.

Aku menyimpan note itu di sakuku dan menghela nafas. Aku tahu kasus ini akan sangat sulit. Apalagi dengan keadaan listrik yg tidak stabil untuk beberapa hari kedepan.

Seorang psikopat gila di luar sana dan keberadaannya tidak diketahui. Kota ini dalam bahaya dan aku harus menyelesaikan kasus ini secepatnya.

Bersambung

Misteri Kota Tua.. Tamat


Kami masih kaget melihat mayat-mayat hidup di sekitar kami. Mereka tidak berkeliaran di sekitar kami, mereka masin menempel di dinding. Walau bagaimanapun juga, tetap saja kami ketakutan. "AAAARGH!! Tooloooong" suara itu berdengung keras di seisi ruangan. Suara itu berulang tak beraturan karena banyak sekali mayat hidup di sekitar ruangan. Kematian. Ini pasti ulah Kematian.Kami membereskan perkakas-perkakas kami dan melipat tenda kami dengan terburu-buru lalu kami pergi memasuki lorong yg gelap.

Tepat ketika kami di depan lorong, cahaya obor menyala dan menerangi lorong tersebut. Kami terus berlari tanpa menghiraukan apapun yg terjadi. Satu-persatu mayat-mayat yg menempel di dinding menjadi hidup dan berusaha menangkap kami. Setiap langkah yg kami ambil, setiap mayat yg kami lewati, mayat-mayat itu mendadak menjadi hidup. Aku menyuruh Florence dan Lotus untuk berlari lebih cepat. Tiba-tiba salah satu mayat di depan kami menjadi hidup dan itu membuat Florence reflek berlari mendekati dinding dan membuat satu mayat menangkapnya. "FLORENCE!" teriakku, tepat saat aku ingin mengambil golokku, seseorang dengan sigapnya mengambil golokku terlebih dahulu lalu memotong tangan mayat itu dan mendorong florence mendekati kami. Aku menangkap Florence dan memeluknya erat. Saat aku ingin berterimakasih, orang itu sudah menghilang. Menghilang dimakan mayat hidup. 

Mayat-mayat hidup tiba-tiba menjadi lebih berisik dan jangkauan mereka menjadi lebih jauh. Bahkan mereka sudah bisa meraih jaketku. Aku menyuruh Florence dan lotus untuk berlari dengan cepat. Setelah aku mengambil golokku di lantai, aku berlari menyusul mereka. Aku terus berlari dan tiba-tiba aku tersandung. Tersandung di sebuah ruangan yg gelap tanpa adanya cahaya dan mendadak cahaya obor di belakang kami mati.

"Florence! Lotus! Dimana kalian?" teriakku memanggil mereka. Aku berharap mereka menjawab sahutanku, tetapi yg aku dengar hanyalah suara langkah seseorang yg memegang tongkat sambil memukulkan tongkatnya ke kerangkeng besi sehingga terdengar suara, "Teng! Teng! Teng!" yg disusul dengan suara tawa. Ya, suara tawa Kematian.

Cahaya obor tiba-tiba menyala dan menerangi ruangan. Dan aku dapat melihat tuan Penderghast, Thomas dan Felix berdiri terikat di atas 3 altar dalam keadaan tidak sadar. Ke-tiga altar tersebut berada tepat di tengah ruangan. Di depan masing-masing altar ada sebuah peti yg berisi pedang. Pedang yg terukir indah dan sangat kuat. "Bagaimana kalau kita bermain permainan kecil? Yg harus kau lakukan hanyalah membunuh salah-satu dari mereka" Kematian berbicara dengan santainya. "Dimana anak dan istriku?" tanyaku. Kematian menghentakkan sabitnya ke lantai beberapa kali dan tiba-tiba Florence dan Lotus yg terkurung dalam sebuah kerangkeng turun dari atap dan mencapai permukaan lantai. "AYAAAAAH!!" teriak Lotus. "Lotus" sergahku sambil berlari menuju anak dan istriku, tetapi Kematian menghempaskanku. "Kau tidak akan bisa memeluk mereka kecuali kau menyelesaikan permainan ini!" Kematian menjelaskan. Aku menelan ludah, lalu berlari ke salah-satu peti dan mengambil pedang yg berada di dalamnya.

Kematian berjalan mendekatiku. Ketika dia tepat berada di belakangku, aku berbalik dan menusuknya tepat di jantungnya. Tetapi Kematian membalasnya dengan tawa. "Kau pikir kau bisa membunuhku? Aku adalah KEMATIAN!" ketika Kematian mengatakan namanya, terdengar suara tawa. Bukan tawa dari Kematian. Tawa itu terdengar dari langit-langit ruangan. Aku mendongak ke atas dan terkejut melihat banyak kepala manusia melayang di langit-langit ruangan. "Terkejut melihat koleksiku?" tanya Kematian. Tiba-tiba salah satu kepala terjatuh dan menggelinding ke arahku. Aku memperhatikan kepala itu dan akhirnya menyadari bahawa itu ada kepala Nikolai. "Kau hampir berhasil, Kevin. Cepat selesaikan permainan ini dan lanjutkan perjalananmu" kata Nikolai dengan lemah. Lalu sebuah pedang melayang ke arahku. Aku melihat Kematian, "Kau sudah tau aturannya" katanya. "Biar kubangunkan mereka" kata Kematian sambil mengangkat tangannya. Ajaib, mereka tiba-tiba terbangun dan meneriakkan sesuatu.

"Jangan bunuh aku! Ingat, aku adalah asisten setiamu" - Thomas
"Bnuh yg lain, tetapi jangan aku. Aku masih kuat, aku akan banyak membantu!" - tuan Penderghast
"Jangan berpikir untuk membunuhku. Aku adalah tetua kota ini, aku bisa membantumu keluar dari sini" - Felix.

Masing-masing orang memberikan alasan mereka. Aku tentu saja merasa bingung. Aku tidak mungkin membunuh Thomas. Dia sangat setia dan sangat sabar menghadapiku. Tetapi aku tidak mungkin juga membunuh tuan Penderghast karena dia akan sangat membantu. Ya, walaupun hubungan terakhir kami tidak terlalu baik, tetapi dia sangat kuat dan pemikirannya sangat cepat. Jangan tanya tentang Felix. Dia bisa membantu kami untuk keluar dari rumah Kematian ini.

Aku melihat keluargaku, Florence sedang memberi isyarat untuk diam sambil menunjuk Lotus. Lalu aku melihat Lotus yg sedang berusaha membuka gembok kerangkeng besi tadi. Sungguh, aku bangga dengan Lotus. Gadis semata wayangku yg cantik jelita, cerdas dan licik. Aku kembali melihat Florence. Aku melihat dia memberi isyarat untukku agar tetap fokus ke permainan.

Aku melihat ke-tiga altar tersebut. Pedang masih aku pegang. Tanganku bergetar. Hatiku berperang menentukan siapa yg seharusnya dibunuh. Semuanya sangat aku butuhkan dan semuanya adalah orang yg dekat denganku. "Hei, apakah kau akan menghabiskan banyak waktu di sin?" Kematian berbicara memperingatiku. Aku menggelengkan kepala dan membuat keputusan. Aku berjalan menaiki altar. "Tidak. Apa yg kau lakukan? JANGAN BUNUH AKU!!". aku hanya bisa menjawab, "Maafkan aku" lalu aku menusuknya tepat di kepalanya. "Tidurlah dengan tenang" aku mengucapkan kata-kata terakhirku.

Aku berdiri dan berbalik, "Sekarang lepaskan keluargaku dan teman-temanku!" perintahku pada Kematian. Kematian mengankat tangannya dan melepaskan ke-dua tahanannya. Tetapi tidak terjadi apa-apa pada kerangkeng keluargaku. "Kau pikir aku akan sebaik itu melepaskan mereka? HAH! Jangan bermimpi" katanya. "Kurang ajar! Ini tidak yg seperti yg kau janjikan!" teriakku. "Hahaha! Aku hanya merubah pikiranku" jawabnya dengan santai. Tanganku bergetar, ingin sekali aku menebas kepalanya. Tetapi itu percuma saja, dia adalah Kematian dan Kematian tidak akan bisa mati. "Hey, lihat sekarang siapa yg licik" kata Lotus dengan nada menantang. Kematian berbalik ke belakang dan terkejut, "Bagaimana kalian bisa keluar?" , "Dengan sedikit kepintaran dan kelicikan" Lotus menjawab dan melemparkan air suci. Kematian berteriak sangat keras. Teriakannya bahkan hampir memekakkan telingaku. Lalu dia melompat dan menghilang ditelan cahaya kehitaman.

"Florence! Lotus!" teriakku sambil berlari memeluk mereka. "AYAH!" teriak Lotus dan Florence. Kami saling berpelukan. Thomas dan tuan Penderghast datang dan ikut memelukku. Lalu kami berdiri dan melanjutkan perjalanan.

"Kevin, kenapa kau membunuh Felix?" tanya Thomas. Lalu aku menjawab:

"Terkadang dalam kehidupan, kau akan menemukan pilihan tersulit dalam hidupmu. Ikuti kata hati nuranimu dan lakukan sesuai dengan perintahnya. Mereka tidak akan pernah salah"

Bersambung

Misteri Kota Tua.. Part 7


Kami masih kaget melihat mayat-mayat hidup di sekitar kami. Mereka tidak berkeliaran di sekitar kami, mereka masin menempel di dinding. Walau bagaimanapun juga, tetap saja kami ketakutan. "AAAARGH!! Tooloooong" suara itu berdengung keras di seisi ruangan. Suara itu berulang tak beraturan karena banyak sekali mayat hidup di sekitar ruangan. Kematian. Ini pasti ulah Kematian.Kami membereskan perkakas-perkakas kami dan melipat tenda kami dengan terburu-buru lalu kami pergi memasuki lorong yg gelap.

Tepat ketika kami di depan lorong, cahaya obor menyala dan menerangi lorong tersebut. Kami terus berlari tanpa menghiraukan apapun yg terjadi. Satu-persatu mayat-mayat yg menempel di dinding menjadi hidup dan berusaha menangkap kami. Setiap langkah yg kami ambil, setiap mayat yg kami lewati, mayat-mayat itu mendadak menjadi hidup. Aku menyuruh Florence dan Lotus untuk berlari lebih cepat. Tiba-tiba salah satu mayat di depan kami menjadi hidup dan itu membuat Florence reflek berlari mendekati dinding dan membuat satu mayat menangkapnya. "FLORENCE!" teriakku, tepat saat aku ingin mengambil golokku, seseorang dengan sigapnya mengambil golokku terlebih dahulu lalu memotong tangan mayat itu dan mendorong florence mendekati kami. Aku menangkap Florence dan memeluknya erat. Saat aku ingin berterimakasih, orang itu sudah menghilang. Menghilang dimakan mayat hidup. 

Mayat-mayat hidup tiba-tiba menjadi lebih berisik dan jangkauan mereka menjadi lebih jauh. Bahkan mereka sudah bisa meraih jaketku. Aku menyuruh Florence dan lotus untuk berlari dengan cepat. Setelah aku mengambil golokku di lantai, aku berlari menyusul mereka. Aku terus berlari dan tiba-tiba aku tersandung. Tersandung di sebuah ruangan yg gelap tanpa adanya cahaya dan mendadak cahaya obor di belakang kami mati.

"Florence! Lotus! Dimana kalian?" teriakku memanggil mereka. Aku berharap mereka menjawab sahutanku, tetapi yg aku dengar hanyalah suara langkah seseorang yg memegang tongkat sambil memukulkan tongkatnya ke kerangkeng besi sehingga terdengar suara, "Teng! Teng! Teng!" yg disusul dengan suara tawa. Ya, suara tawa Kematian.

Cahaya obor tiba-tiba menyala dan menerangi ruangan. Dan aku dapat melihat tuan Penderghast, Thomas dan Felix berdiri terikat di atas 3 altar dalam keadaan tidak sadar. Ke-tiga altar tersebut berada tepat di tengah ruangan. Di depan masing-masing altar ada sebuah peti yg berisi pedang. Pedang yg terukir indah dan sangat kuat. "Bagaimana kalau kita bermain permainan kecil? Yg harus kau lakukan hanyalah membunuh salah-satu dari mereka" Kematian berbicara dengan santainya. "Dimana anak dan istriku?" tanyaku. Kematian menghentakkan sabitnya ke lantai beberapa kali dan tiba-tiba Florence dan Lotus yg terkurung dalam sebuah kerangkeng turun dari atap dan mencapai permukaan lantai. "AYAAAAAH!!" teriak Lotus. "Lotus" sergahku sambil berlari menuju anak dan istriku, tetapi Kematian menghempaskanku. "Kau tidak akan bisa memeluk mereka kecuali kau menyelesaikan permainan ini!" Kematian menjelaskan. Aku menelan ludah, lalu berlari ke salah-satu peti dan mengambil pedang yg berada di dalamnya.

Kematian berjalan mendekatiku. Ketika dia tepat berada di belakangku, aku berbalik dan menusuknya tepat di jantungnya. Tetapi Kematian membalasnya dengan tawa. "Kau pikir kau bisa membunuhku? Aku adalah KEMATIAN!" ketika Kematian mengatakan namanya, terdengar suara tawa. Bukan tawa dari Kematian. Tawa itu terdengar dari langit-langit ruangan. Aku mendongak ke atas dan terkejut melihat banyak kepala manusia melayang di langit-langit ruangan. "Terkejut melihat koleksiku?" tanya Kematian. Tiba-tiba salah satu kepala terjatuh dan menggelinding ke arahku. Aku memperhatikan kepala itu dan akhirnya menyadari bahawa itu ada kepala Nikolai. "Kau hampir berhasil, Kevin. Cepat selesaikan permainan ini dan lanjutkan perjalananmu" kata Nikolai dengan lemah. Lalu sebuah pedang melayang ke arahku. Aku melihat Kematian, "Kau sudah tau aturannya" katanya. "Biar kubangunkan mereka" kata Kematian sambil mengangkat tangannya. Ajaib, mereka tiba-tiba terbangun dan meneriakkan sesuatu.

"Jangan bunuh aku! Ingat, aku adalah asisten setiamu" - Thomas
"Bnuh yg lain, tetapi jangan aku. Aku masih kuat, aku akan banyak membantu!" - tuan Penderghast
"Jangan berpikir untuk membunuhku. Aku adalah tetua kota ini, aku bisa membantumu keluar dari sini" - Felix.

Masing-masing orang memberikan alasan mereka. Aku tentu saja merasa bingung. Aku tidak mungkin membunuh Thomas. Dia sangat setia dan sangat sabar menghadapiku. Tetapi aku tidak mungkin juga membunuh tuan Penderghast karena dia akan sangat membantu. Ya, walaupun hubungan terakhir kami tidak terlalu baik, tetapi dia sangat kuat dan pemikirannya sangat cepat. Jangan tanya tentang Felix. Dia bisa membantu kami untuk keluar dari rumah Kematian ini.

Aku melihat keluargaku, Florence sedang memberi isyarat untuk diam sambil menunjuk Lotus. Lalu aku melihat Lotus yg sedang berusaha membuka gembok kerangkeng besi tadi. Sungguh, aku bangga dengan Lotus. Gadis semata wayangku yg cantik jelita, cerdas dan licik. Aku kembali melihat Florence. Aku melihat dia memberi isyarat untukku agar tetap fokus ke permainan.

Aku melihat ke-tiga altar tersebut. Pedang masih aku pegang. Tanganku bergetar. Hatiku berperang menentukan siapa yg seharusnya dibunuh. Semuanya sangat aku butuhkan dan semuanya adalah orang yg dekat denganku. "Hei, apakah kau akan menghabiskan banyak waktu di sin?" Kematian berbicara memperingatiku. Aku menggelengkan kepala dan membuat keputusan. Aku berjalan menaiki altar. "Tidak. Apa yg kau lakukan? JANGAN BUNUH AKU!!". aku hanya bisa menjawab, "Maafkan aku" lalu aku menusuknya tepat di kepalanya. "Tidurlah dengan tenang" aku mengucapkan kata-kata terakhirku.

Aku berdiri dan berbalik, "Sekarang lepaskan keluargaku dan teman-temanku!" perintahku pada Kematian. Kematian mengankat tangannya dan melepaskan ke-dua tahanannya. Tetapi tidak terjadi apa-apa pada kerangkeng keluargaku. "Kau pikir aku akan sebaik itu melepaskan mereka? HAH! Jangan bermimpi" katanya. "Kurang ajar! Ini tidak yg seperti yg kau janjikan!" teriakku. "Hahaha! Aku hanya merubah pikiranku" jawabnya dengan santai. Tanganku bergetar, ingin sekali aku menebas kepalanya. Tetapi itu percuma saja, dia adalah Kematian dan Kematian tidak akan bisa mati. "Hey, lihat sekarang siapa yg licik" kata Lotus dengan nada menantang. Kematian berbalik ke belakang dan terkejut, "Bagaimana kalian bisa keluar?" , "Dengan sedikit kepintaran dan kelicikan" Lotus menjawab dan melemparkan air suci. Kematian berteriak sangat keras. Teriakannya bahkan hampir memekakkan telingaku. Lalu dia melompat dan menghilang ditelan cahaya kehitaman.

"Florence! Lotus!" teriakku sambil berlari memeluk mereka. "AYAH!" teriak Lotus dan Florence. Kami saling berpelukan. Thomas dan tuan Penderghast datang dan ikut memelukku. Lalu kami berdiri dan melanjutkan perjalanan.

"Kevin, kenapa kau membunuh Felix?" tanya Thomas. Lalu aku menjawab:

"Terkadang dalam kehidupan, kau akan menemukan pilihan tersulit dalam hidupmu. Ikuti kata hati nuranimu dan lakukan sesuai dengan perintahnya. Mereka tidak akan pernah salah"

Bersambung

Misteri Kota Tua.. Part 6


"Apa? Kau berbicara dengan kematian?" Felix tampak kaget. Wajahnya menjadi pucat. "Apakah dia memberimu tantangan?" lanjut Felix. "Ya, dia memberiku tantangan. Aku harus menemukan apa yg terjadi dengan desa ini. Mengapa desa ini terkutuk." jawabku. "Baiklah, itu pertanda buruk. Waspadalah, dia tidak akan membiarkanmu menang. Percaya atau tidak, ruangan itu dikendalikan oleh kematian" Felix memperingatiku. Aku sedikit takut mendengarnya. Tapi keputusan sudah dibuat dan aku harus menyelesaikan ini walaupun aku harus mati.

Aku menuruni tangga yg berhubungan dengan ruangan bawah tanah tempat harta tersebut berada. Teman-teman dan keluargaku sudah menunggu di dalam. Saat aku sudah berkumpul dengan mereka, cahaya obor tiba-tiba menyala dan menerangi perjalanan kami. "Selamat datang di rumahku yg sederhana ini. Kuharap kalian menikmati petualangan ini" suara Kematian bergema di seisi ruangan. Suaranya yg khas dan menyeramkan seakan menghantuiku. Jantungku berdegup kencang, tapi aku berusaha untuk tetap tenang.

Ruangan ini lebih terlihat seperti lorong. Lorong yg luas dan mengerikan. Sementara ruangan yg kami pijak saat ini lebih terlihat seperti lobby. Dinding-dinding lobby ini seakan terbuat dari mayat-mayat. Banyak tengkorak ataupun mayat yg masih segar menempel di dinding. Udaranya panas dan berbau apek. Kami semua terlihat ketakutan. Florence menggenggam erat tanganku dan Lotus memeluk kakiku. "Oke, aku tahu kita semua ketakutan. Tapi aku yakin kita bisa menyelesaikan ini." kataku memberikan semangat. Tidak ada tanggapan dari kata-kataku tadi. Sudah jelas semuanya ketakutan dan suasana di sini sangat menegangkan.

Diterangi cahaya obor yg menggantung di dinding, aku mulai berjalan dan menelusuri lorong demi lorong. Ketika aku berpikir bahwa tidak ada apa-apa di sini, tiba-tiba saja dinding bergetar hebat. Terdengar suara tawa yg memilukan dari kejauhan. Tuan penderghast mundur beberapa langkah sehingga dia semakin dekat dengan dinding. Tiba-tiba salah satu mayat yg menempel berkata, "Toloong. Tolooong akuu" lalu dia berusaha untuk melepaskan kedua tangannya yg menempel di dinding dan memeluk tuan Penderghast. "Toloong akuu.. Lepaskan akuu" suara itu sangat memilukan, menakutkan dan membuatku merinding. Tuan Penderghast berusaha keras melepaskan pelukan mayat tersebut. "AAAAAAAH!!!" tiba-tiba terdengar suara jeritan. Lotus, itu jeritan Lotus!! "Lepaskan tanganku!" kata Lotus memukul tangan mayat yg mencengkram erat tangannya. Disaat seperti ini, aku herus berpikir cepat. "Thomas, bantu tuan Penderghast dan aku akan membantu Lotus" perintahku. Aku mengambil golok yg aku bawa untuk berjaga-jaga dan memotong tangan mayat tersebut. Lotus terjatuh ketika tangan tersebut terpotong. Mayat itu lalu menatapku tajam lalu berteriak. Teriakan itu sangat keras. "Florence, bawa Lotus jauh dari sini, aku harus membantu tuan Penderghast!". Florence memegang tangan Lotus dan berlari sekencang yg mereka bisa. Sedangkan aku memasang sumbat telinga dan berusaha melepaskan pelukan mayat dari tuan Penderghast. Tak kusangka, pelukan itu sangat kuat. "Toolong akuuu!" suara minta tolong itu terdengar semakin keras. Tanpa pikir panjang, aku mengambil golokku dan menusukkannya tepat di kepalanya. Mayat itu mendongak ke atas, merintih kesakitan lalu terjatuh. Dia tidak jatuh ke tanah, tetap tergantung di dinding, hanya sebagian badannya saja yg lepas dari dinding, selebihnya masih menempel.

Setelah tuan Penderghast terlepas dari pelukan mayat, kami berlari menyusul Florence dan Lotus. Beruntung, mereka mendengar teriakan kami. Kami bertemu di ruangan lain yg berbentuk seperti lobby. Di depan kami, tampak sebuah sungai yg memisahkan antara ruang satu, dengan ruang lainnya. Kami harus mencari cara untuk bisa sampai di ruangan seberang. Kami berpencar mencari apapun untuk di pakai menyebrang. "Hey, disini!" Florence berteriak. "Di sini ada semacam tuas" Florence menunjukkan tuas tersebut. Aku memperhatikan tuas tersebut. Tuas itu terbuat dari lengan manusia lengkap dengan tangannya. Ada tulisan di bagian bawahnya.
Hanya dapat ditarik oleh orang terpilih
Lotus membacanya dengan keras. Jujur saja, itu mengagetkanku. Karena hanya aku yg tadi berbicara dengan kematian, aku merasa seperti orang yg terpilih. Dengan perasaan cemas dan takut, aku memegang tuas tersebut dan menariknya. Aneh, tidak tuas tersebut tidak juga turun. "Biar aku yg menariknya" Thomas mengajukan diri. Dia genggam tuas itu, lalu tiba-tiba tuas tersebut mencengkram tangan Thomas. Keringat dingin tampak membasahi kening Thomas. Aku ingin menolongnya, tapi Thomas melarangku. "Tidak, aku tidak ingin kau terluka. Kau adalah kunci dari permainan kematian" Thomas membentakku. Dia menarik tuas tersebut dan akhirnya tuas tersebut turun. Air sungai di bawah kami beriak. Ruangan tempat kami berada bergetar dan dari bawah jembatan mulai terangkat. Jembatan yg lantainya terbuat dari beberapa tulang dan otot-otot manusia sebagai pengerat jembatan tersebut. Aku menyuruh tuan Penderghast, Florence dan Lotus untuk menyebrangi jembatan tersebut. Aku melihat Thomas dan kaget. Kaget karena tangan yg mencengkram Thomas belum juga lepas. Aku berlari mendekatinya dan membantunya dengan cara menarik Thomas. Tapi cengkraman tersebut terlalu kuat. Aku berusaha memotong tulang tersebut, tapi tulang itu terlalu kuat. "Kevin, pergi saja sekarang. Aku hanya memperlambat perjalanan kalian. Aku akan menyusul, aku janji" Thomas lalu memaksaku untuk pergi. Dengan berat hati aku meninggalkannya.

Aku menyebrangi jembatan yg naik ke permukaan dengan pengorbanan Thomas. Jembatan tersebut licin dan sedikit amis. "Kevin, mana Thomas?" tanya tuan Penderghast. Aku hanya menggeleng lemah. Tuan Penderghast tampak pucat dan berlari ingin kembali menyelamatkan Thomas. Ya, Thomas dan tuan Penderghast adalah sahabat baik. Tapi sayang, jembatan itu kembali turun ke bawah sungai sehingga tuan Penderghast tidak bisa menyebrang. Tuan Penderghast berteriak memanggil Thomas. Tetapi tidak ada tanggapan. "Hahahahah! Aku membutuhkan pelayan yg setia seperti dia" suara kematian kembail menggema ruangan. Tuan Penderghast terlihat panik. Dia berbalik lalu mengarahkan telunjuknya padaku, "INI SEMUA SALAHMU! Kalau kau tidak meninggalkannya, dia tidak akan berakhir seperti ini!" tuan Penderghast marah padaku. Aku tidak berani menjawab, bagaimanapun juga ini salahku. Dia benar, aku tidak seharusnya meninggalkan Thomas. Tuan Penderghast mendekat dan hendak menamparku. Tetapi tangannya ditahan oleh Florence. "DIAM! Kau hanya panik! Thomas adalah orang yg cerdas, dia pasti punya rencana. Sekarang bisakan kau diam dan melanjutkan perjalanan?!" Kata Florence kesal. Tak pernah kulihat dia seperti ini. Tuan Penderghast mundur beberapa langkah, lalu berjalan cepat menuju lorong selanjutnya. Tetapi tuan Penderghast tiba-tiba terpeleset dan menabrak tembok. Sentak para mayat yg menempel menjadi kaget lalu mencengkram tuan Penderghast. "Tooolooong akuu.." , "LAPAAAR!! Aku lapaaar!" para mayat merintih kesakitan dan kelaparan. Aku, Florence dan Lotus hanya diam mematung. Melihat tuan Penderghast perlahan hilang. Dia hilang seakan dimakan oleh dinding-dinding. Bukan mayat, tapi dinding. Reflek, aku berlari mengejar tuan Penderghast. "Tunggu ayah. Ini seperti jebakan." Lotus mengambil batu lalu melemparkannya ke mayat-mayat yg menempel. Mayat itu lalu bangun dan berteriak. Lalu beberapa saat kemudian diam dan kembali tidur. Samar-samar terdengar suara teriakan tuan Penderghast. Kami berlari menuju sebuah lorong. Mengikuti lorong tersebut dan berhati-hati untuk tidak mendekati mayat tersebut. Suara itu berakhir di dalam ruangan yg luas, namun kosong tanpa isi.

"Sayang, bagaimana kalau kita sudahi perjalanan hari ini? Aku dan Lotus sudah capek dan harus beristirahat" bujuk Florence. Sebenarnya aku keberatan. Tapi Florence ada benarnya juga. Kami sudah terlalu capek dan harus beristirahat. Kami lalu mendirikan tenda lalu tidur. Beberapa jam kemudian aku mendengar suara erangan kesakitan. Dan suara minta tolong juga samar-samar terdengar. Aku mengintip keluar dan kaget ketika melihat.. Mayat-mayat hidup!

Bersambung